Pandangan Masyarakat Terhadap Kematian Santri Pendiam di Pondok Pesantren Al Khoziny
Malam itu, langit di Buduran, Sidoarjo terasa gelap dan kelam. Reruntuhan gedung Pondok Pesantren Al Khoziny menciptakan suasana yang kaku dan menyerukan peringatan. Di antara penumpahan bangunan tersebut, seorang ayah bernama Muhammad Siyam (40) berdiri dengan wajah lelah dan mata yang nyaris tak bisa menahan air mata. Ia telah mencari putranya, Farhan (17), santri kelas dua madrasah aliyah, yang menjadi salah satu korban ambruknya gedung pondok pesantren itu.
Sembilan hari lamanya Siyam terjaga di Posko SAR Gabungan, dari pagi hingga malam menanti kabar, hanya dengan satu harapan menemukan anaknya. Apapun keadaannya. Pencarian yang berat ini telah mempengaruhi keluarga lainnya, termasuk sepupunya Khoiru Ummah (29), yang mengenang perubahan besar pada diri Farhan sejak ia menjadi santri.
Farhan dikenal jarang bicara, namun perilakunya mencerminkan kedewasaan yang tumbuh lebih cepat dari usianya. Ia sering terlihat ke musala untuk salat berjamaah saat pulang ke rumah, terutama ketika ia berlibur pada peringatan Maulid Nabi, sekitar sepuluh hari sebelum tragedi terjadi.
Keluarga Farhan dianggap sangat dekat dengan santri yang meninggal itu. Mereka percaya bahwa kehilangan ini akan mereka lanjutkan, meskipun berat hati. Seperti kata Khoiru Ummah, "Yang pasti kami sudah lega menemukan keluarga kami. Itu fokusnya kita itu aja."
Tragedi di Pondok Pesantren Al Khoziny telah meninggalkan rasa kehilangan yang mendalam di kalangan masyarakat. Namun, dalam kekecewaannya, mereka memilih untuk menerima dan percaya bahwa kejadian yang menimpa Farhan sudah digariskan.
Malam itu, langit di Buduran, Sidoarjo terasa gelap dan kelam. Reruntuhan gedung Pondok Pesantren Al Khoziny menciptakan suasana yang kaku dan menyerukan peringatan. Di antara penumpahan bangunan tersebut, seorang ayah bernama Muhammad Siyam (40) berdiri dengan wajah lelah dan mata yang nyaris tak bisa menahan air mata. Ia telah mencari putranya, Farhan (17), santri kelas dua madrasah aliyah, yang menjadi salah satu korban ambruknya gedung pondok pesantren itu.
Sembilan hari lamanya Siyam terjaga di Posko SAR Gabungan, dari pagi hingga malam menanti kabar, hanya dengan satu harapan menemukan anaknya. Apapun keadaannya. Pencarian yang berat ini telah mempengaruhi keluarga lainnya, termasuk sepupunya Khoiru Ummah (29), yang mengenang perubahan besar pada diri Farhan sejak ia menjadi santri.
Farhan dikenal jarang bicara, namun perilakunya mencerminkan kedewasaan yang tumbuh lebih cepat dari usianya. Ia sering terlihat ke musala untuk salat berjamaah saat pulang ke rumah, terutama ketika ia berlibur pada peringatan Maulid Nabi, sekitar sepuluh hari sebelum tragedi terjadi.
Keluarga Farhan dianggap sangat dekat dengan santri yang meninggal itu. Mereka percaya bahwa kehilangan ini akan mereka lanjutkan, meskipun berat hati. Seperti kata Khoiru Ummah, "Yang pasti kami sudah lega menemukan keluarga kami. Itu fokusnya kita itu aja."
Tragedi di Pondok Pesantren Al Khoziny telah meninggalkan rasa kehilangan yang mendalam di kalangan masyarakat. Namun, dalam kekecewaannya, mereka memilih untuk menerima dan percaya bahwa kejadian yang menimpa Farhan sudah digariskan.