Kehilangan Anak Pemuda di Pesantren: Kenangan Panjang dan Kekerasan Tragedi Al Khoziny
Kisah tragedi yang menimpa Pondok Pesantren Al Khoziny, sebuah pesantren berprestasi tinggi di Sidoarjo, masih terus menghangatkan hati keluarga korban. Seorang ayah, Muhammad Siyam, kehilangan anaknya, Farhan (17), yang menjadi salah satu korban ambruknya gedung pondok pesantren itu dalam kejadian yang menimpa pada Senin (29/9) pekan lalu.
Menurut Siyam, ia terus mencari putranya selama sembilan hari, hanya dengan harapan menemukan anaknya. Ia berdiri di posko SAR Gabungan, dari pagi hingga malam, menanti kabar tentang keberadaan Farhan. Namun, hasil pencarian tersebut masih nihil.
Farhan dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tak banyak menuntut. Ia memilih mondok di Al Khoziny setelah lulus SD dan menjadi salah satu santri kelas dua madrasah aliyah. Pada peringatan Maulid Nabi, Farhan sering mengunjungi musala untuk salat berjamaah bareng dengan adiknya.
Keluarga Farhan masih merasa kehilangan ini berat, namun mereka memilih untuk menerima dan percaya bahwa kejadian yang menimpa anak pertamanya itu semua telah digariskan. Mereka percaya bahwa Farhan meninggal di waktu yang baik, saat sedang salat di pondok tempat dia menuntut ilmu.
Tragedi Al Khoziny masih terus menghangatkan hati banyak orang. Pada Selasa (7/10) malam, jenazahnya teridentifikasi di RS Bhayangkara setelah sembilan hari pencarian yang panjang dan berat. Dengan kehilangan ini, keluarga besarnya Farhan masih merasa kesepian, namun mereka memilih untuk menerima dan percaya bahwa semua telah digariskan.
Gedung tiga lantai termasuk musala di asrama putra Pondok Pesantren Al Khoziny ambruk pada Senin (29/9) pekan lalu. Saat kejadian, ratusan santri lainnya tengah melaksanakan Salat Asar berjemaah di gedung yang masih dalam tahap pembangunan tersebut.
Kisah tragedi yang menimpa Pondok Pesantren Al Khoziny, sebuah pesantren berprestasi tinggi di Sidoarjo, masih terus menghangatkan hati keluarga korban. Seorang ayah, Muhammad Siyam, kehilangan anaknya, Farhan (17), yang menjadi salah satu korban ambruknya gedung pondok pesantren itu dalam kejadian yang menimpa pada Senin (29/9) pekan lalu.
Menurut Siyam, ia terus mencari putranya selama sembilan hari, hanya dengan harapan menemukan anaknya. Ia berdiri di posko SAR Gabungan, dari pagi hingga malam, menanti kabar tentang keberadaan Farhan. Namun, hasil pencarian tersebut masih nihil.
Farhan dikenal sebagai sosok yang sederhana dan tak banyak menuntut. Ia memilih mondok di Al Khoziny setelah lulus SD dan menjadi salah satu santri kelas dua madrasah aliyah. Pada peringatan Maulid Nabi, Farhan sering mengunjungi musala untuk salat berjamaah bareng dengan adiknya.
Keluarga Farhan masih merasa kehilangan ini berat, namun mereka memilih untuk menerima dan percaya bahwa kejadian yang menimpa anak pertamanya itu semua telah digariskan. Mereka percaya bahwa Farhan meninggal di waktu yang baik, saat sedang salat di pondok tempat dia menuntut ilmu.
Tragedi Al Khoziny masih terus menghangatkan hati banyak orang. Pada Selasa (7/10) malam, jenazahnya teridentifikasi di RS Bhayangkara setelah sembilan hari pencarian yang panjang dan berat. Dengan kehilangan ini, keluarga besarnya Farhan masih merasa kesepian, namun mereka memilih untuk menerima dan percaya bahwa semua telah digariskan.
Gedung tiga lantai termasuk musala di asrama putra Pondok Pesantren Al Khoziny ambruk pada Senin (29/9) pekan lalu. Saat kejadian, ratusan santri lainnya tengah melaksanakan Salat Asar berjemaah di gedung yang masih dalam tahap pembangunan tersebut.