Pemerintah Indonesia, terus-menerus mengeluarkan laporan tentang jumlah sampah yang dihasilkan setiap tahun. Sampah yang berakhir di TPA, yang dibakar liar, atau diolah menjadi energi. Yang menarik adalah apa lagi yang bisa dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah ini? Mungkin kita semua terlalu banyak membantu membiarkan sampah ini menjadi masalah yang tidak teratasi.
Dalam 68 juta ton sampah yang dihasilkan setiap tahun, kira-kira berapa besar potensi energi yang bisa dihasilkan? Meskipun demikian, teknologi yang digunakan untuk mengolahnya masih bergantung pada asing. Banyak proyek Waste to Energy (WtE) yang menggunakan teknologi asing dari luar negeri. Dan apa lagi yang jadi? China, negara tersebut punya banyak kontribusi dalam pengembangannya.
Ternyata, bukan kekurangan kemampuan kita saja, tapi kurangnya keberanian untuk percaya pada diri sendiri. Sampah bukan masalah, tapi bahan bakar kemandirian. Apa yang perlu diubah adalah pendekatan utama pemerintah yang masih berbasis listrik saja.
Mengimpor teknologi untuk membakar sampah bukan itu yang tepat. Maka dari itu, Waste to Steam (WtS) menjadi alternatif yang lebih baik. Pada dasarnya, WtS langsung memanfaatkan energi panas hasil pembakaran untuk menghasilkan uap industri. Uap ini bisa langsung disalurkan ke pabrik baja, pupuk, kertas, atau kimia.
Teknologinya lebih sederhana dan lebih cepat dibangun. Maka dari itu, WtS cocok untuk diaplikasikan pada kawasan industri seperti Cilegon, Karawang, atau Gresik. Banyak pabrik dalam negeri yang sudah memiliki kemampuan untuk membuat boiler, pressure vessel, dan sistem perpipaan bertekanan tinggi.
Tapi, apa yang dibutuhkan adalah arah kebijakan nasional yang menempatkan WtS sebagai program kemandirian energi berbasis sampah. Pemerintah perlu menetapkan TKDN minimal 60%, memberi ruang konsorsium BUMN dan swasta untuk berkolaborasi, dan mendorong industri local membeli steam-nya.
Ketergantungan pada teknologi impor bukan sekadar soal bisnis, tapi soal kedaulatan teknologi. Negara sebesar Indonesia tidak seharusnya menunggu negara lain membakar sampahnya. Kita harus mampu membangun sendiri, bukan sekadar membeli solusi, tapi menciptakannya.
Kita harus berani percaya pada diri sendiri. Sampah bukan masalah, tapi bahan bakar kemandirian. Jika kita terus mengimpor teknologi untuk membakar sampah, maka yang terbakar bukan hanya plastik, tapi juga harga diri bangsa.
Dalam 68 juta ton sampah yang dihasilkan setiap tahun, kira-kira berapa besar potensi energi yang bisa dihasilkan? Meskipun demikian, teknologi yang digunakan untuk mengolahnya masih bergantung pada asing. Banyak proyek Waste to Energy (WtE) yang menggunakan teknologi asing dari luar negeri. Dan apa lagi yang jadi? China, negara tersebut punya banyak kontribusi dalam pengembangannya.
Ternyata, bukan kekurangan kemampuan kita saja, tapi kurangnya keberanian untuk percaya pada diri sendiri. Sampah bukan masalah, tapi bahan bakar kemandirian. Apa yang perlu diubah adalah pendekatan utama pemerintah yang masih berbasis listrik saja.
Mengimpor teknologi untuk membakar sampah bukan itu yang tepat. Maka dari itu, Waste to Steam (WtS) menjadi alternatif yang lebih baik. Pada dasarnya, WtS langsung memanfaatkan energi panas hasil pembakaran untuk menghasilkan uap industri. Uap ini bisa langsung disalurkan ke pabrik baja, pupuk, kertas, atau kimia.
Teknologinya lebih sederhana dan lebih cepat dibangun. Maka dari itu, WtS cocok untuk diaplikasikan pada kawasan industri seperti Cilegon, Karawang, atau Gresik. Banyak pabrik dalam negeri yang sudah memiliki kemampuan untuk membuat boiler, pressure vessel, dan sistem perpipaan bertekanan tinggi.
Tapi, apa yang dibutuhkan adalah arah kebijakan nasional yang menempatkan WtS sebagai program kemandirian energi berbasis sampah. Pemerintah perlu menetapkan TKDN minimal 60%, memberi ruang konsorsium BUMN dan swasta untuk berkolaborasi, dan mendorong industri local membeli steam-nya.
Ketergantungan pada teknologi impor bukan sekadar soal bisnis, tapi soal kedaulatan teknologi. Negara sebesar Indonesia tidak seharusnya menunggu negara lain membakar sampahnya. Kita harus mampu membangun sendiri, bukan sekadar membeli solusi, tapi menciptakannya.
Kita harus berani percaya pada diri sendiri. Sampah bukan masalah, tapi bahan bakar kemandirian. Jika kita terus mengimpor teknologi untuk membakar sampah, maka yang terbakar bukan hanya plastik, tapi juga harga diri bangsa.