Pemilu serentak 2024 adalah momen penting bagi demokrasi Indonesia. Tidak hanya sebagai ajang politik, tetapi juga sebagai refleksi besar mengenai kelemahan desain dan tata kelola pemilu nasional. Komplikasitas teknis, tumpang tindih regulasi, serta dinamika penyelenggara yang kerap dipertanyakan menunjukkan bahwa sistem elektoral Indonesia masih menghadapi tantangan serius.
Academi Titi Anggraini dari UI menyatakan revisi UU Pemilu sebagai agenda krusial dan mendesak dalam praktik demokrasi konstitusional. Ia menilai bahwa pemilu dan pilkada 2024 menunjukkan rapuhnya sistem demokrasi ketika dihadapkan pada agenda elektoral yang terlalu padat tanpa kelembagaan yang memadai.
Revisi UU Pemilu saat ini telah tercantum dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 sebagai usulan Baleg DPR, dan juga Prolegnas Prioritas 2026 sebagai usulan Komisi II DPR. Ia menekankan bahwa inisiatif tersebut harus dimaknai bukan sebagai rutinitas politik melainkan sebagai upaya transformasi menyeluruh sistem demokrasi.
Titi menjelaskan tiga pijakan utama yang seharusnya menjadi landasan dalam penyusunan RUU Pemilu. Pertama, perlunya evaluasi menyeluruh terhadap seluruh tantangan dan persoalan dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024 baik secara teknis maupun substansial. Kedua, karena tidak ada lagi pembedaan antara rezim pemilu dan pilkada berdasarkan Putusan MK No.85/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024, maka penyusunan UU Pemilu dan Pilkada idealnya dilakukan dengan model kodifikasi dalam satu naskah.
Ketiga, RUU Pemilu wajib mengakomodasi seluruh putusan Mahkamah Konstitusi yang telah merevisi maupun merekonstruksi aturan elektoral. Ia menekankan bahwa revisi UU Pemilu harus memiliki legitimasi hukum yang kokoh serta relevansi politik yang nyata.
Titi juga mengingatkan bahwa tantangan terbesar dari revisi UU Pemilu terletak pada tarik-ulur politik di DPR. Ia menilai bahwa pembahasan RUU Pemilu selama ini kerap tersandera oleh kepentingan fraksi dan perbedaan pandangan terkait sistem pemilu, sehingga membuat proses legislasi berjalan lambat. Karena itu, menurutnya, strategi paling realistis dan efektif adalah dengan mendorong Pemerintah menjadi pengusul RUU Pemilu.
Dengan kapasitas birokrasi dan kewenangan yang dimiliki, Pemerintah dinilai mampu menyiapkan naskah akademik dan draf RUU lebih cepat, sehingga proses pembahasan bersama DPR dapat dimulai lebih awal dan tidak berlarut-larut.
Academi Titi Anggraini dari UI menyatakan revisi UU Pemilu sebagai agenda krusial dan mendesak dalam praktik demokrasi konstitusional. Ia menilai bahwa pemilu dan pilkada 2024 menunjukkan rapuhnya sistem demokrasi ketika dihadapkan pada agenda elektoral yang terlalu padat tanpa kelembagaan yang memadai.
Revisi UU Pemilu saat ini telah tercantum dalam daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2025 sebagai usulan Baleg DPR, dan juga Prolegnas Prioritas 2026 sebagai usulan Komisi II DPR. Ia menekankan bahwa inisiatif tersebut harus dimaknai bukan sebagai rutinitas politik melainkan sebagai upaya transformasi menyeluruh sistem demokrasi.
Titi menjelaskan tiga pijakan utama yang seharusnya menjadi landasan dalam penyusunan RUU Pemilu. Pertama, perlunya evaluasi menyeluruh terhadap seluruh tantangan dan persoalan dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada 2024 baik secara teknis maupun substansial. Kedua, karena tidak ada lagi pembedaan antara rezim pemilu dan pilkada berdasarkan Putusan MK No.85/PUU-XX/2022 dan Putusan MK No.135/PUU-XXII/2024, maka penyusunan UU Pemilu dan Pilkada idealnya dilakukan dengan model kodifikasi dalam satu naskah.
Ketiga, RUU Pemilu wajib mengakomodasi seluruh putusan Mahkamah Konstitusi yang telah merevisi maupun merekonstruksi aturan elektoral. Ia menekankan bahwa revisi UU Pemilu harus memiliki legitimasi hukum yang kokoh serta relevansi politik yang nyata.
Titi juga mengingatkan bahwa tantangan terbesar dari revisi UU Pemilu terletak pada tarik-ulur politik di DPR. Ia menilai bahwa pembahasan RUU Pemilu selama ini kerap tersandera oleh kepentingan fraksi dan perbedaan pandangan terkait sistem pemilu, sehingga membuat proses legislasi berjalan lambat. Karena itu, menurutnya, strategi paling realistis dan efektif adalah dengan mendorong Pemerintah menjadi pengusul RUU Pemilu.
Dengan kapasitas birokrasi dan kewenangan yang dimiliki, Pemerintah dinilai mampu menyiapkan naskah akademik dan draf RUU lebih cepat, sehingga proses pembahasan bersama DPR dapat dimulai lebih awal dan tidak berlarut-larut.