Regulasi panjang dan rumit membuat pengembangan WTE lambat, kata Zulkifli Hasan. Sekarang hanya 3 proyek WTE yang berhasil dijalankan dalam 11 tahun terakhir.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan, kompleksitas regulasi dan proses pengurusan proyek menjadi penyebab utama lambatnya pengembangan WTE. Zulhas menjelaskan bahwa sebelum bisa membangun fasilitas WTE, harus melalui banyak pihak dan memakan waktu bertahun-tahun. Mulai dari perundingan dengan pemerintah daerah hingga persetujuan DPRD, kemudian ke Kementerian Keuangan untuk mengurus subsidi, dilanjutkan ke Kementerian Lingkungan Hidup untuk kajian lingkungan, dan Kementerian ESDM untuk kajian teknis.
Setelah semua proses lengkap, baru bisa berunding dengan PLN. Masalahnya adalah setiap tahapan tersebut memiliki masalah sendiri lagi, sehingga 11 tahun terakhir hanya berhasil membuat 3 proyek WTE jalan. Satu jalan tidak menyelesaikan sampai akhir, dua tidak pernah mulai.
Teknologi WTE sebenarnya sudah digunakan selama 20 tahun di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Cina. Namun, Indonesia masih menghadapi masalah perizinan yang tidak pasti.
Atas dasar itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.109/2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Menurut Zulhas, peraturan ini dapat memangkas semua kerumitan birokrasi yang ada dan membuat proses pengajuan proyek WTE lebih cepat.
Dengan Perpres baru, pemerintah hanya perlu mengajukan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengajukan proyek WTE, sementara pemerintah daerah bertugas menyediakan lahan dan menjamin ketersediaan sampah. "Kita jamin 3 bulan selesai," kata Zulhas sebagai ketua tim percepatan program WTE dalam Perpres tersebut.
Saat ini, proyek WTE telah masuk dalam tahap tender dan akan menjadi batch pertama untuk membangun fasilitas pengolahan sampah dengan anggaran Rp2,5-3 triliun untuk tiap WTE berkapasitas 1.000 ton sampah.
Menurut Menteri Koordinator Bidang Pangan, kompleksitas regulasi dan proses pengurusan proyek menjadi penyebab utama lambatnya pengembangan WTE. Zulhas menjelaskan bahwa sebelum bisa membangun fasilitas WTE, harus melalui banyak pihak dan memakan waktu bertahun-tahun. Mulai dari perundingan dengan pemerintah daerah hingga persetujuan DPRD, kemudian ke Kementerian Keuangan untuk mengurus subsidi, dilanjutkan ke Kementerian Lingkungan Hidup untuk kajian lingkungan, dan Kementerian ESDM untuk kajian teknis.
Setelah semua proses lengkap, baru bisa berunding dengan PLN. Masalahnya adalah setiap tahapan tersebut memiliki masalah sendiri lagi, sehingga 11 tahun terakhir hanya berhasil membuat 3 proyek WTE jalan. Satu jalan tidak menyelesaikan sampai akhir, dua tidak pernah mulai.
Teknologi WTE sebenarnya sudah digunakan selama 20 tahun di negara-negara seperti Malaysia, Singapura, Jepang, dan Cina. Namun, Indonesia masih menghadapi masalah perizinan yang tidak pasti.
Atas dasar itu, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) No.109/2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. Menurut Zulhas, peraturan ini dapat memangkas semua kerumitan birokrasi yang ada dan membuat proses pengajuan proyek WTE lebih cepat.
Dengan Perpres baru, pemerintah hanya perlu mengajukan surat kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk mengajukan proyek WTE, sementara pemerintah daerah bertugas menyediakan lahan dan menjamin ketersediaan sampah. "Kita jamin 3 bulan selesai," kata Zulhas sebagai ketua tim percepatan program WTE dalam Perpres tersebut.
Saat ini, proyek WTE telah masuk dalam tahap tender dan akan menjadi batch pertama untuk membangun fasilitas pengolahan sampah dengan anggaran Rp2,5-3 triliun untuk tiap WTE berkapasitas 1.000 ton sampah.