Putri Gus Dur, Anita Wahid, tegas menolak pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan presiden Soeharto. Dalam diskusi #SoehartoBukanPahlawan yang diadakan di Jakarta beberapa hari lalu, Anita mengatakan bahwa tanpa mewakili keluarga Gus Dur secara pribadi, dia menolak gelar tersebut.
"Apakah memang saya menolak atau menerima Pak Harto diberikan gelar pahlawan nasional. Itu jelas, saya menolak," kata Anita dalam diskusinya.
Meskipun Anita menyatakan menolak gelar pahlawan Soeharto, dia juga tidak melupakan pembangunan yang sudah dibuat oleh presiden ke dua itu. Menurut dia, Soeharto berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, tapi juga membuat kerusakan.
"Indonesia, kata dia, merupakan bangsa pemaar, tapi bukan berarti publik harus melupakan kerusakan besar yang dilakukan Soeharto," ujar Anita.
Anita juga membeberkan alasan mengapa ia menolak gelar tersebut. Pertama, dia menyatakan bahwa banyak orang yang berbicara tentang rekonsiliasi dan memaafkan dosa Soeharto, tetapi tidak menyinggung soal akuntabilitas.
"Kita sudah terbiasa dengan hanya melihat di bagian memaafkannya saja. Kemudian berpikir bahwa apabila sudah memaafkan, maka sudah tidak perlu lagi ada akuntabilitas," kata dia.
Anita juga menyatakan bahwa pengabaian akuntabilitas akan mengulangi kerusakan serupa, bahkan lebih parah. Alasan kedua yang dia sebutkan adalah banyak pelanggaran HAM, represi, dan korupsi yang dilakukan Soeharto. Dia juga menyatakan bahwa korupsi yang dilakukan Soeharto sangat parah.
"Yang ketiga itu adalah beliau meninggalkan legasi berupa otoritarian, bentuk otoritarian, dan kehancuran dari institusi-institusi demokratis dan sangat terstruktur," kata Anita.
Dengan melihat tiga alasan tersebut, Anita menyatakan bahwa gelar yang lebih cocok untuk Soeharto adalah diktator, bukan pahlawan. Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Usman Hamid juga menyatakan bahwa Gus Dur dan Nurcholish Madjid atau Cak Nur menjadi penjahat apabila Soeharto diberi gelar pahlawan nasional.
"Saya tidak bisa menerima jika Soeharto dijadikan pahlawan. Ini adalah kekecewaan bagi saya," kata Usman.
"Apakah memang saya menolak atau menerima Pak Harto diberikan gelar pahlawan nasional. Itu jelas, saya menolak," kata Anita dalam diskusinya.
Meskipun Anita menyatakan menolak gelar pahlawan Soeharto, dia juga tidak melupakan pembangunan yang sudah dibuat oleh presiden ke dua itu. Menurut dia, Soeharto berkontribusi terhadap pembangunan di Indonesia, tapi juga membuat kerusakan.
"Indonesia, kata dia, merupakan bangsa pemaar, tapi bukan berarti publik harus melupakan kerusakan besar yang dilakukan Soeharto," ujar Anita.
Anita juga membeberkan alasan mengapa ia menolak gelar tersebut. Pertama, dia menyatakan bahwa banyak orang yang berbicara tentang rekonsiliasi dan memaafkan dosa Soeharto, tetapi tidak menyinggung soal akuntabilitas.
"Kita sudah terbiasa dengan hanya melihat di bagian memaafkannya saja. Kemudian berpikir bahwa apabila sudah memaafkan, maka sudah tidak perlu lagi ada akuntabilitas," kata dia.
Anita juga menyatakan bahwa pengabaian akuntabilitas akan mengulangi kerusakan serupa, bahkan lebih parah. Alasan kedua yang dia sebutkan adalah banyak pelanggaran HAM, represi, dan korupsi yang dilakukan Soeharto. Dia juga menyatakan bahwa korupsi yang dilakukan Soeharto sangat parah.
"Yang ketiga itu adalah beliau meninggalkan legasi berupa otoritarian, bentuk otoritarian, dan kehancuran dari institusi-institusi demokratis dan sangat terstruktur," kata Anita.
Dengan melihat tiga alasan tersebut, Anita menyatakan bahwa gelar yang lebih cocok untuk Soeharto adalah diktator, bukan pahlawan. Sementara itu, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Usman Hamid juga menyatakan bahwa Gus Dur dan Nurcholish Madjid atau Cak Nur menjadi penjahat apabila Soeharto diberi gelar pahlawan nasional.
"Saya tidak bisa menerima jika Soeharto dijadikan pahlawan. Ini adalah kekecewaan bagi saya," kata Usman.