Polisi Ubah Strategi Penanganan Unjuk Rasa, dari Tertib hingga Rusuh Berat
Kepolisian Indonesia telah mengubah strategi penanganan unjuk rasa atau demonstrasi menjadi lima tahapan baru. Pendirian ini dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme, proporsionalitas, dan penggunaan kekuatan yang sesuai dalam menangani aksi massal.
Tahapan pertama adalah unjuk rasa dengan eskalasi tertib, di mana massa dapat mematuhi imbauan dan kegiatan masyarakat tetap berjalan lancar. Petugas polisi akan mengadakan kehadiran sebagai tindakan pencegahan serta imbauan lisan.
Tahapan kedua adalah kurang tertib ketika massa mulai mengejek, provokasi ringan, dan tidak mengindahkan imbauan. Dalam hal ini, petugas polisi akan menerapkan kendali tangan kosong lunak dan negosiasi oleh Kapolres sebagai pengendali taktis.
Tahapan ketiga adalah ketika tidak tertib, massa mulai melempar, melakukan pembakaran lokal, atau gangguan yang menyebabkan luka ringan. Dalam hal ini, petugas polisi akan melakukan kendali tangan kosong keras dan pendorongan dengan meriam air.
Tahapan keempat adalah ketika rusuh, massa melakukan kekerasan, perusakan, serangan fisik, dan penutupan jalan secara masif. Dalam hal ini, petugas polisi akan menerapkan penggunaan senjata tumpul, gas air mata, atau alat non-mematikan sesuai standar.
Terakhir adalah tahapan Rusuh Berat, di mana situasi meningkat hingga memerlukan lintas ganti ke satuan Brimob atau penanganan oleh tim Raimas jika tidak tersedia PHH Brimob.
Dirasmapha Korsabhara Baharkam Polri Brigjen Moh. Ngajib menjelaskan bahwa perubahan ini dilakukan untuk penyempurnaan penanganan aksi dengan menekankan profesionalisme, proporsionalitas, dan penggunaan kekuatan yang sesuai. "Kita ingin seluruh Kasatwil memahami bahwa respons kepolisian tidak boleh reaktif. Harus melalui tahapan yang jelas dengan evaluasi pada setiap tindakan," katanya.
Ngajib juga mengingatkan bahwa setiap tindakan kepolisian dalam pengamanan unjuk rasa harus sesuai prosedur, terukur, dan menghormati hak-hak warga. "Setiap satuan wilayah harus memiliki kemampuan komunikasi, negosiasi, dan penguasaan lapangan ketika sedang bertugas menghadapi massa aksi," katanya.
Dengan perubahan ini, diharapkan bahwa penanganan unjuk rasa dapat menjadi lebih modern, humanis, dan berbasis hak asasi manusia.
Kepolisian Indonesia telah mengubah strategi penanganan unjuk rasa atau demonstrasi menjadi lima tahapan baru. Pendirian ini dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme, proporsionalitas, dan penggunaan kekuatan yang sesuai dalam menangani aksi massal.
Tahapan pertama adalah unjuk rasa dengan eskalasi tertib, di mana massa dapat mematuhi imbauan dan kegiatan masyarakat tetap berjalan lancar. Petugas polisi akan mengadakan kehadiran sebagai tindakan pencegahan serta imbauan lisan.
Tahapan kedua adalah kurang tertib ketika massa mulai mengejek, provokasi ringan, dan tidak mengindahkan imbauan. Dalam hal ini, petugas polisi akan menerapkan kendali tangan kosong lunak dan negosiasi oleh Kapolres sebagai pengendali taktis.
Tahapan ketiga adalah ketika tidak tertib, massa mulai melempar, melakukan pembakaran lokal, atau gangguan yang menyebabkan luka ringan. Dalam hal ini, petugas polisi akan melakukan kendali tangan kosong keras dan pendorongan dengan meriam air.
Tahapan keempat adalah ketika rusuh, massa melakukan kekerasan, perusakan, serangan fisik, dan penutupan jalan secara masif. Dalam hal ini, petugas polisi akan menerapkan penggunaan senjata tumpul, gas air mata, atau alat non-mematikan sesuai standar.
Terakhir adalah tahapan Rusuh Berat, di mana situasi meningkat hingga memerlukan lintas ganti ke satuan Brimob atau penanganan oleh tim Raimas jika tidak tersedia PHH Brimob.
Dirasmapha Korsabhara Baharkam Polri Brigjen Moh. Ngajib menjelaskan bahwa perubahan ini dilakukan untuk penyempurnaan penanganan aksi dengan menekankan profesionalisme, proporsionalitas, dan penggunaan kekuatan yang sesuai. "Kita ingin seluruh Kasatwil memahami bahwa respons kepolisian tidak boleh reaktif. Harus melalui tahapan yang jelas dengan evaluasi pada setiap tindakan," katanya.
Ngajib juga mengingatkan bahwa setiap tindakan kepolisian dalam pengamanan unjuk rasa harus sesuai prosedur, terukur, dan menghormati hak-hak warga. "Setiap satuan wilayah harus memiliki kemampuan komunikasi, negosiasi, dan penguasaan lapangan ketika sedang bertugas menghadapi massa aksi," katanya.
Dengan perubahan ini, diharapkan bahwa penanganan unjuk rasa dapat menjadi lebih modern, humanis, dan berbasis hak asasi manusia.