Menurut Wali Nanggroe Aceh ke-9 Teuku Malik Mahmud Al Haythar, pengalaman hidupnya banyak dihabiskan di meja perundingan internasional. Pada usia 86 tahun ini, tuturnya masih teratur, tenang, dan hati-hati. Ia merupakan penandatangan nota damai Helsinki 2005 bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin dari pihak Republik Indonesia.
Malik Mahmud dianggap sebagai salah satu aktor penting di balik jalan panjang menuju perjanjian damai Helsinki 2005. Ia juga menutup babak konflik, bukan menguaknya. Sejarah juga menempatkannya sebagai orang yang berdampung pada kesepakatan yang menjadi pijakan penting: penghentian keinginan membentuk negara Aceh merdeka serta komitmen membangun perdamaian yang menyeluruh dan bermartabat.
Salah satu butir kesepakatan itu adalah penguatan Lembaga Wali Nanggroe sebagai otoritas adat Aceh. Lembaga ini punya akar sejarah panjang sejak 1874, ketika dibentuk oleh Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh, Tuwanku Muhammad Raja Keumala, sebagai simbol pemersatu rakyat melawan kolonial Belanda.
Setelah 2013, lembaga tersebut menjelma menjadi institusi adat yang independen, bersifat personal, dengan Malik Mahmud sebagai sosok otoritatif dalam adat dan sosial masyarakat Aceh. Malah, Tito Karnavian diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri setelah menerima gelar Petua Panglima Hukom Nanggroe dari Wali Nanggroe Malik Mahmud.
Malik Mahmud menyinggung keteladanan Tito selama menjabat Kapolri. Ia meminta masyarakat menahan diri, mengingatkan bahwa simbol bisa ditunda, tetapi perdamaian tak sedikit pun boleh retak. "Aceh akan tetap di dalam NKRI," kata Malik pada 2012.
Perjalanan hidup Malik sarat transformasi. Ia pertama kali bersentuhan dengan gerakan Aceh sejak remaja, ketika ayahnya mengajak membantun jaringan DI/TII dari Singapura. Bahkan, pertemuan Malik dengan Hasan Tiro berlangsung saat Malik masih muda.
Sekarang, narasi perjuangan itu Malik bergeser menjadi sosok di balik upaya menjaga stabilitas, adat, dan masa depan sosial Aceh. Prosesi pemberian gelar Petua Panglima Hukom Nanggroe menandai babak baru hubungan antara Lembaga Wali Nanggroe dengan pemerintah pusat yang bukan lagi konfrontatif, melainkan kolaboratif.
Dalam sambutannya, Tito menyebut perlunya memperkuat Lembaga Wali Nanggroe, baik dari segi eksistensi maupun anggaran. Bagi Tito, lembaga adat sebesar Wali Nanggroe mestinya dapat bergerak lebih aktif dalam agenda pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Gelar Petua Panglima Hukom Nanggroe adalah monumen yang menyiratkan tekad untuk saling menopang, memastikan damai di Aceh tetap terawat sebagai warisan paling berharga dari bentangan panjang sejarah di sana.
Malik Mahmud dianggap sebagai salah satu aktor penting di balik jalan panjang menuju perjanjian damai Helsinki 2005. Ia juga menutup babak konflik, bukan menguaknya. Sejarah juga menempatkannya sebagai orang yang berdampung pada kesepakatan yang menjadi pijakan penting: penghentian keinginan membentuk negara Aceh merdeka serta komitmen membangun perdamaian yang menyeluruh dan bermartabat.
Salah satu butir kesepakatan itu adalah penguatan Lembaga Wali Nanggroe sebagai otoritas adat Aceh. Lembaga ini punya akar sejarah panjang sejak 1874, ketika dibentuk oleh Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh, Tuwanku Muhammad Raja Keumala, sebagai simbol pemersatu rakyat melawan kolonial Belanda.
Setelah 2013, lembaga tersebut menjelma menjadi institusi adat yang independen, bersifat personal, dengan Malik Mahmud sebagai sosok otoritatif dalam adat dan sosial masyarakat Aceh. Malah, Tito Karnavian diangkat menjadi Menteri Dalam Negeri setelah menerima gelar Petua Panglima Hukom Nanggroe dari Wali Nanggroe Malik Mahmud.
Malik Mahmud menyinggung keteladanan Tito selama menjabat Kapolri. Ia meminta masyarakat menahan diri, mengingatkan bahwa simbol bisa ditunda, tetapi perdamaian tak sedikit pun boleh retak. "Aceh akan tetap di dalam NKRI," kata Malik pada 2012.
Perjalanan hidup Malik sarat transformasi. Ia pertama kali bersentuhan dengan gerakan Aceh sejak remaja, ketika ayahnya mengajak membantun jaringan DI/TII dari Singapura. Bahkan, pertemuan Malik dengan Hasan Tiro berlangsung saat Malik masih muda.
Sekarang, narasi perjuangan itu Malik bergeser menjadi sosok di balik upaya menjaga stabilitas, adat, dan masa depan sosial Aceh. Prosesi pemberian gelar Petua Panglima Hukom Nanggroe menandai babak baru hubungan antara Lembaga Wali Nanggroe dengan pemerintah pusat yang bukan lagi konfrontatif, melainkan kolaboratif.
Dalam sambutannya, Tito menyebut perlunya memperkuat Lembaga Wali Nanggroe, baik dari segi eksistensi maupun anggaran. Bagi Tito, lembaga adat sebesar Wali Nanggroe mestinya dapat bergerak lebih aktif dalam agenda pemberdayaan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat Aceh.
Gelar Petua Panglima Hukom Nanggroe adalah monumen yang menyiratkan tekad untuk saling menopang, memastikan damai di Aceh tetap terawat sebagai warisan paling berharga dari bentangan panjang sejarah di sana.