Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan bahwa pajak progresif yang diterapkan pada uang pesangon dan uang pensiun tidak sesuai dengan konstitusi. Pemohon gugatan ini, dua karyawan swasta Rosul Siregar dan Maksum Harahap, menilai bahwa pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang telah keliru memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis.
Menurut mereka, pesangon merupakan tabungan dari potongan gaji dan bentuk penghargaan atas pengabdian karyawan. Pasal 4 Ayat (1) UU PPh yang menetapkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak mencakup pesangon dan pensiun, serta Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP yang memberlakukan tarif progresif atas pesangon dan pensiun dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Para pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, Tabungan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Selain itu, mereka juga meminta pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas keempat komponen tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa skema dana pensiun yang tak dibayar sekaligus (lump sum) juga tidak sesuai dengan konstitusi. Pemohon gugatan ini, delapan karyawan swasta dan pensiunan karyawan swasta, meminta MK menguji materi ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Mereka menilai bahwa aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus. Bagi pemohon yang masih dalam masa bakti (masih bekerja) berpotensi dirugikan, sedangkan salah satu pemohon yang telah pensiun sudah dirugikan karena tidak menerima hak pensiun lump sum sampai saat ini.
MK kemudian memberikan waktu 14 hari bagi para Pemohon untuk memperbaiki permohonan dengan batas akhir Senin, 20 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.
Menurut mereka, pesangon merupakan tabungan dari potongan gaji dan bentuk penghargaan atas pengabdian karyawan. Pasal 4 Ayat (1) UU PPh yang menetapkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak mencakup pesangon dan pensiun, serta Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP yang memberlakukan tarif progresif atas pesangon dan pensiun dianggap bertentangan dengan konstitusi.
Para pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, Tabungan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT). Selain itu, mereka juga meminta pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas keempat komponen tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sementara itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa skema dana pensiun yang tak dibayar sekaligus (lump sum) juga tidak sesuai dengan konstitusi. Pemohon gugatan ini, delapan karyawan swasta dan pensiunan karyawan swasta, meminta MK menguji materi ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Mereka menilai bahwa aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus. Bagi pemohon yang masih dalam masa bakti (masih bekerja) berpotensi dirugikan, sedangkan salah satu pemohon yang telah pensiun sudah dirugikan karena tidak menerima hak pensiun lump sum sampai saat ini.
MK kemudian memberikan waktu 14 hari bagi para Pemohon untuk memperbaiki permohonan dengan batas akhir Senin, 20 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.