botolkosong77
New member
Mahkamah Konstitusi (MK) digugat oleh sejumlah karyawan swasta dan pensiunan karyawan swasta terkait pencairan dana pensiun yang tak dibayar sekaligus dan pajak progresif pada uang pensiun. Pihak pelapor menilai bahwa pembuat undang-undang telah keliru memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis.
Dalam permohonan pengujian, para pemohon mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Mereka mengajukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU PPh yang menetapkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak mencakup pesangon dan pensiun.
Para pemohon menilai bahwa pemerintah dan DPR telah keliru memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis. Mereka berpendapat bahwa pesangon merupakan tabungan dari potongan gaji dan bentuk penghargaan atas pengabdian karyawan.
Ketentuan yang digugat bertentangan dengan konstitusi, terlebih dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, Tabungan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Selain itu, para pemohon juga meminta Mahkamah memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas keempat komponen tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai negeri maupun swasta. Mereka juga meminta pembentuk undang-undang menyesuaikan sistem perpajakan agar sejalan dengan UUD 1945.
Dalam permohonan yang lain, para pemohon digugat terkait skema dana pensiun yang tak dibayar sekaligus. Mereka meminta MK menguji materi ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Para pemohon menilai bahwa aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus. Mereka memiliki kerugian bersifat nyata dan spesifik.
Dalam permohonan pengujian, para pemohon mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Mereka mengajukan pengujian terhadap ketentuan Pasal 4 Ayat (1) UU PPh yang menetapkan seluruh tambahan kemampuan ekonomis sebagai objek pajak mencakup pesangon dan pensiun.
Para pemohon menilai bahwa pemerintah dan DPR telah keliru memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis. Mereka berpendapat bahwa pesangon merupakan tabungan dari potongan gaji dan bentuk penghargaan atas pengabdian karyawan.
Ketentuan yang digugat bertentangan dengan konstitusi, terlebih dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Para pemohon meminta MK untuk menyatakan ketentuan tersebut tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, Tabungan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Selain itu, para pemohon juga meminta Mahkamah memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas keempat komponen tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai negeri maupun swasta. Mereka juga meminta pembentuk undang-undang menyesuaikan sistem perpajakan agar sejalan dengan UUD 1945.
Dalam permohonan yang lain, para pemohon digugat terkait skema dana pensiun yang tak dibayar sekaligus. Mereka meminta MK menguji materi ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Para pemohon menilai bahwa aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus. Mereka memiliki kerugian bersifat nyata dan spesifik.