Pajak Pensiun dan Pesangon Digugat di MK
Dalam sidang perdana, dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, menggugat penerapan pajak progresif pada pesangon dan uang pensiun. Mereka menilai bahwa pemerintah dan DPR telah keliru memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis, padahal pesangon merupakan tabungan dari potongan gaji yang digunakan sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian karyawan.
Mereka juga mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 17 UU PPH sebagaimana telah diubah melalui UU HPP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, Tabungan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Selain itu, mereka juga meminta MK untuk memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas keempat komponen tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai negeri maupun swasta, serta memerintahkan pembentuk undang-undang menyesuaikan sistem perpajakan agar sejalan dengan UUD 1945.
Sementara itu, dua karyawan lainnya yang juga menggugat skema dana pensiun yang tak dibayar sekaligus (lump sum). Mereka meminta MK untuk menguji materi ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Para pemohon menilai bahwa aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus. Mereka juga menegaskan bahwa Dana Pensiun memiliki karakteristik berbeda dengan Jaminan Pensiun walaupun sama-sama menggunakan istilah 'pensiun'.
MK telah memberikan waktu 14 hari bagi para Pemohon untuk memperbaiki permohonan, dengan batas akhir Senin, 20 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.
Dalam sidang perdana, dua karyawan swasta, Rosul Siregar dan Maksum Harahap, menggugat penerapan pajak progresif pada pesangon dan uang pensiun. Mereka menilai bahwa pemerintah dan DPR telah keliru memandang pesangon sebagai tambahan kemampuan ekonomis, padahal pesangon merupakan tabungan dari potongan gaji yang digunakan sebagai bentuk penghargaan atas pengabdian karyawan.
Mereka juga mengajukan pengujian terhadap Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah diubah terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi (MK) untuk menyatakan bahwa Pasal 4 ayat (1) UU PPh dan Pasal 17 UU PPH sebagaimana telah diubah melalui UU HPP tidak memiliki kekuatan hukum mengikat terhadap pesangon, uang pensiun, Tabungan Hari Tua (THT), dan Jaminan Hari Tua (JHT).
Selain itu, mereka juga meminta MK untuk memerintahkan pemerintah untuk tidak mengenakan pajak atas keempat komponen tersebut bagi seluruh rakyat Indonesia, baik pegawai negeri maupun swasta, serta memerintahkan pembentuk undang-undang menyesuaikan sistem perpajakan agar sejalan dengan UUD 1945.
Sementara itu, dua karyawan lainnya yang juga menggugat skema dana pensiun yang tak dibayar sekaligus (lump sum). Mereka meminta MK untuk menguji materi ketentuan pembayaran manfaat pensiun dalam Pasal 161 ayat (2), Pasal 164 ayat (1) huruf d, dan Pasal 164 ayat (2) UU P2SK.
Para pemohon menilai bahwa aturan yang berlaku saat ini menimbulkan kerugian bagi pekerja karena membatasi hak peserta dana pensiun swasta untuk menerima manfaat pensiun secara sekaligus. Mereka juga menegaskan bahwa Dana Pensiun memiliki karakteristik berbeda dengan Jaminan Pensiun walaupun sama-sama menggunakan istilah 'pensiun'.
MK telah memberikan waktu 14 hari bagi para Pemohon untuk memperbaiki permohonan, dengan batas akhir Senin, 20 Oktober 2025 pukul 12.00 WIB.