Belém, Brasil, 13 November 2025. Pada hari ini, Indonesia menegaskan komitmennya dalam memperkuat tata kelola karbon dan pembiayaan iklim berbasis hutan di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30). Dalam sesi Forest Finance and Trade, pemerintah bersama pelaku usaha kehutanan memaparkan arah kebijakan menuju pencapaian Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 dan penguatan Carbon Economic Value atau Nilai Ekonomi Karbon (NEK).
Keberhasilan Indonesia dalam tata kelola REDD+ bertumpu pada integritas data, konsistensi kebijakan, dan keberhasilan menekan deforestasi hingga lebih dari 60 persen dalam satu dekade terakhir. Menurut Staf Ahli Menteri LHK Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, pengalaman Indonesia membuktikan bahwa keberhasilan REDD+ tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknis menghitung emisi, tetapi juga oleh tata kelola yang jelas, integritas data, dan kepemilikan yang kuat dari tingkat lokal hingga nasional.
Ilustrasi: Pemerintah dan Dunia Usaha Dorong Pembiayaan Hutan Berkelanjutan di Forum COP30
Haruni menegaskan bahwa penerapan NEK melalui Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 menciptakan kerangka nasional yang mengintegrasikan mekanisme pasar dan non-pasar secara transparan dan akuntabel. Sistem tersebut mendukung percepatan pencapaian FOLU Net Sink 2030 sekaligus memberi kepastian bagi investasi karbon yang berintegritas.
Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon KLHK, Wahyu Marjaka, menyatakan bahwa terbitnya Perpres 110/2025 semakin memperkuat instrumen pembiayaan dalam mendukung aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030. "Perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja menjadi instrumen penting dari Nilai Ekonomi Karbon," ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, menyampaikan bahwa pelaku usaha kehutanan kini tengah mempersiapkan integrasi tata kelola karbon dalam model bisnis perusahaan. Ia menekankan bahwa standar integritas—mulai dari legalitas, metodologi perhitungan yang kredibel, hingga pembagian manfaat dengan masyarakat—merupakan kunci agar kredit karbon Indonesia diterima pasar global.
Partisipasi Indonesia dalam Forest Pavilion COP30 menegaskan bahwa Indonesia bukan hanya penerima pendanaan iklim, tetapi juga aktor yang ikut membentuk standar global dalam tata kelola karbon berintegritas.
Keberhasilan Indonesia dalam tata kelola REDD+ bertumpu pada integritas data, konsistensi kebijakan, dan keberhasilan menekan deforestasi hingga lebih dari 60 persen dalam satu dekade terakhir. Menurut Staf Ahli Menteri LHK Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, pengalaman Indonesia membuktikan bahwa keberhasilan REDD+ tidak hanya ditentukan oleh kemampuan teknis menghitung emisi, tetapi juga oleh tata kelola yang jelas, integritas data, dan kepemilikan yang kuat dari tingkat lokal hingga nasional.
Ilustrasi: Pemerintah dan Dunia Usaha Dorong Pembiayaan Hutan Berkelanjutan di Forum COP30
Haruni menegaskan bahwa penerapan NEK melalui Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 menciptakan kerangka nasional yang mengintegrasikan mekanisme pasar dan non-pasar secara transparan dan akuntabel. Sistem tersebut mendukung percepatan pencapaian FOLU Net Sink 2030 sekaligus memberi kepastian bagi investasi karbon yang berintegritas.
Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon KLHK, Wahyu Marjaka, menyatakan bahwa terbitnya Perpres 110/2025 semakin memperkuat instrumen pembiayaan dalam mendukung aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030. "Perdagangan karbon dan pembayaran berbasis kinerja menjadi instrumen penting dari Nilai Ekonomi Karbon," ujarnya.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, menyampaikan bahwa pelaku usaha kehutanan kini tengah mempersiapkan integrasi tata kelola karbon dalam model bisnis perusahaan. Ia menekankan bahwa standar integritas—mulai dari legalitas, metodologi perhitungan yang kredibel, hingga pembagian manfaat dengan masyarakat—merupakan kunci agar kredit karbon Indonesia diterima pasar global.
Partisipasi Indonesia dalam Forest Pavilion COP30 menegaskan bahwa Indonesia bukan hanya penerima pendanaan iklim, tetapi juga aktor yang ikut membentuk standar global dalam tata kelola karbon berintegritas.