Pemerintah dan dunia usaha bersatu untuk mendorong pembiayaan hutan berkelanjutan di Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30). Hal ini ditandai dengan kemunculan penerapan Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030 dan Carbon Economic Value (NEK) sebagai dorongan transformasi ekonomi hijau.
Pemerintah menegaskan komitmennya dalam memperkuat tata kelola karbon dan pembiayaan iklim berbasis hutan. Pada sesi Forest Finance and Trade, pemerintah bersama pelaku usaha kehutanan memaparkan arah kebijakan menuju pencapaian FOLU Net Sink 2030 dan meningkatkan NEK sebagai pendorong transformasi ekonomi hijau.
Dalam sesi Lessons and the Future of REDD+, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, menjelaskan bahwa keberhasilan Indonesia dalam tata kelola REDD+ bertumpu pada integritas data, konsistensi kebijakan, dan keberhasilan menekan deforestasi hingga lebih dari 60 persen dalam satu dekade terakhir. Menurutnya, capaian tersebut menjadi fondasi penting dalam memperluas pembiayaan iklim berbasis hasil.
Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon KLHK, Wahyu Marjaka, menyatakan bahwa terbitnya Perpres 110/2025 semakin memperkuat instrumen pembiayaan dalam mendukung aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030. Ia menekankan bahwa pengalaman Indonesia dalam penerapan NEK menjadi pembelajaran penting bagi fase berikutnya.
Sementara itu, dari sisi sektor swasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, menyampaikan bahwa pelaku usaha kehutanan kini tengah mempersiapkan integrasi tata kelola karbon dalam model bisnis perusahaan. Ia menekankan bahwa standar integritas, mulai dari legalitas, metodologi perhitungan yang kredibel, hingga pembagian manfaat dengan masyarakat, merupakan kunci agar kredit karbon Indonesia diterima pasar global.
Partisipasi Indonesia dalam Forest Pavilion COP30 menegaskan bahwa Indonesia bukan hanya penerima pendanaan iklim, tetapi juga aktor yang ikut membentuk standar global dalam tata kelola karbon berintegritas. Melalui kolaborasi pemerintah, dunia usaha, masyarakat adat, dan komunitas lokal, Indonesia mendorong sistem pembiayaan kehutanan yang lebih inklusif, akuntabel, dan berkelanjutan sebagai bagian dari kepemimpinan dalam agenda iklim internasional.
Pemerintah menegaskan komitmennya dalam memperkuat tata kelola karbon dan pembiayaan iklim berbasis hutan. Pada sesi Forest Finance and Trade, pemerintah bersama pelaku usaha kehutanan memaparkan arah kebijakan menuju pencapaian FOLU Net Sink 2030 dan meningkatkan NEK sebagai pendorong transformasi ekonomi hijau.
Dalam sesi Lessons and the Future of REDD+, Staf Ahli Menteri LHK Bidang Perubahan Iklim, Haruni Krisnawati, menjelaskan bahwa keberhasilan Indonesia dalam tata kelola REDD+ bertumpu pada integritas data, konsistensi kebijakan, dan keberhasilan menekan deforestasi hingga lebih dari 60 persen dalam satu dekade terakhir. Menurutnya, capaian tersebut menjadi fondasi penting dalam memperluas pembiayaan iklim berbasis hasil.
Direktur Tata Kelola Penerapan Nilai Ekonomi Karbon KLHK, Wahyu Marjaka, menyatakan bahwa terbitnya Perpres 110/2025 semakin memperkuat instrumen pembiayaan dalam mendukung aksi mitigasi FOLU Net Sink 2030. Ia menekankan bahwa pengalaman Indonesia dalam penerapan NEK menjadi pembelajaran penting bagi fase berikutnya.
Sementara itu, dari sisi sektor swasta, Sekretaris Jenderal Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Purwadi Soeprihanto, menyampaikan bahwa pelaku usaha kehutanan kini tengah mempersiapkan integrasi tata kelola karbon dalam model bisnis perusahaan. Ia menekankan bahwa standar integritas, mulai dari legalitas, metodologi perhitungan yang kredibel, hingga pembagian manfaat dengan masyarakat, merupakan kunci agar kredit karbon Indonesia diterima pasar global.
Partisipasi Indonesia dalam Forest Pavilion COP30 menegaskan bahwa Indonesia bukan hanya penerima pendanaan iklim, tetapi juga aktor yang ikut membentuk standar global dalam tata kelola karbon berintegritas. Melalui kolaborasi pemerintah, dunia usaha, masyarakat adat, dan komunitas lokal, Indonesia mendorong sistem pembiayaan kehutanan yang lebih inklusif, akuntabel, dan berkelanjutan sebagai bagian dari kepemimpinan dalam agenda iklim internasional.