"Pembentukan Komite Percepatan Pembangunan Papua: Apakah Hanya Ornamen?"
Sejak dibentuk Presiden Prabowo Subianto, lembaga yang bertujuan mempercepat pembangunan di Papua dinilai tidak memiliki dampak nyata dalam mengatasi berbagai persoalan di wilayah tersebut. Menurut peneliti Institute of Southeast Asian Studies-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua hanya menjadi hiasan yang tidak dapat membenahi persoalan-persoalan di Papua.
Komite ini dibentuk untuk mengawal delapan agenda besar yang termuat dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo, yaitu pembangunan politik, ekonomi, infrastruktur, pemerintahan, serta berbagai aspek sosial budaya. Namun, menurut Made, lembaga ini tidak dapat mengintervensi proyek-proyek pemerintah pusat yang merusak alam Papua, seperti proyek food estate di Merauke dan perusahaan tambang Freeport.
Selain itu, peneliti tersebut juga menyoroti bahwa komposisi personel yang mengisi komite ini tidak memuaskan. Prabowo hanya menunjuk orang-orang yang dapat diperintah oleh pusat, sehingga membuat lembaga ini tidak efektif dalam melakukan pekerjaannya.
Terlepas dari peran yang dirasakan oleh Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua, peneliti tersebut masih menemukan bahwa percepatan pembangunan di Papua makin muskil terealisasi bila dana otonomi khususnya dipangkas. Menurut Made, pemotongan dana otonomi khusus senilai Rp 19 miliar per provinsi di Papua membuat lembaga ini tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan efektif.
Dalam keseluruhan, peneliti tersebut menilai bahwa pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua hanya menjadi hiasan yang tidak dapat membenahi persoalan-persoalan di Papua.
Sejak dibentuk Presiden Prabowo Subianto, lembaga yang bertujuan mempercepat pembangunan di Papua dinilai tidak memiliki dampak nyata dalam mengatasi berbagai persoalan di wilayah tersebut. Menurut peneliti Institute of Southeast Asian Studies-Yusof Ishak Institute, Made Supriatma, Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua hanya menjadi hiasan yang tidak dapat membenahi persoalan-persoalan di Papua.
Komite ini dibentuk untuk mengawal delapan agenda besar yang termuat dalam Asta Cita pemerintahan Prabowo, yaitu pembangunan politik, ekonomi, infrastruktur, pemerintahan, serta berbagai aspek sosial budaya. Namun, menurut Made, lembaga ini tidak dapat mengintervensi proyek-proyek pemerintah pusat yang merusak alam Papua, seperti proyek food estate di Merauke dan perusahaan tambang Freeport.
Selain itu, peneliti tersebut juga menyoroti bahwa komposisi personel yang mengisi komite ini tidak memuaskan. Prabowo hanya menunjuk orang-orang yang dapat diperintah oleh pusat, sehingga membuat lembaga ini tidak efektif dalam melakukan pekerjaannya.
Terlepas dari peran yang dirasakan oleh Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua, peneliti tersebut masih menemukan bahwa percepatan pembangunan di Papua makin muskil terealisasi bila dana otonomi khususnya dipangkas. Menurut Made, pemotongan dana otonomi khusus senilai Rp 19 miliar per provinsi di Papua membuat lembaga ini tidak dapat melakukan pekerjaannya dengan efektif.
Dalam keseluruhan, peneliti tersebut menilai bahwa pembentukan Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua hanya menjadi hiasan yang tidak dapat membenahi persoalan-persoalan di Papua.