Mekanisme Pergantian Anggota DPR: Konflik Internal atau Keseimbangan Baru?
Peneliti Indonesian Parliament Center (IPC), Ahmad Hanafi, menyatakan bahwa mekanisme pergantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di luar waktu (PAW) memiliki potensi membuat keseimbangan baru dalam politik. Meski berpotensi menjadi konflik internal, gugatan lima mahasiswa terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membuat perubahan ini.
Menurut Hanafi, saat ini tidak ada mekanisme lain selain PAW untuk pergantian anggota DPR, kecuali melalui partai politik yang diatur lewat UU MD3. Dia menyatakan bahwa gugatan lima mahasiswa tersebut berpotensi dikabulkan oleh MK, bergantung pada argumen pemohon dan dinamika hakim konstitusi.
"Kalau soal dinamika politik di internal partai, justru mekanisme PAW terbuka malah dapat digunakan untuk membangun keseimbangan politik to. Karena ada kontrol langsung dari masyarakat," kata Hanafi saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (20/11).
Selain itu, upaya tersebut menurut dia patut diapresiasi agar ada kesetaraan antara proses pemilihan oleh masyarakat dan proses evaluasinya. Dengan demikian, partai tidak bisa asal mengganti kadernya di DPR tanpa basis legitimasi yang kuat sebagaimana perolehan suara di pemilu.
"Artinya, partai tidak bisa asal mem-PAW anggotanya tanpa basis legitimasi yang kuat sebagaimana perolehan suara di pemilu. Suara komplain konstituen juga harus dapat dijadikan rujukan," kata Hanafi.
Dia juga menyatakan bahwa DPR semestinya memiliki unit pengaduan terhadap kinerja anggotanya, termasuk program pelayanan anggota DPR terhadap konstituen.
"Seharusnya ada unit pengaduan komplain terhadap kinerja anggota DPR ya. Termasuk program pelayanan anggota DPR terhadap konstituen," katanya.
Gugatan lima mahasiswa tersebut melibatkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK), dan meminta agar rakyat atau konstituen bisa memberhentikan anggota DPR RI.
Ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen dinilai telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Sebab, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Peneliti Indonesian Parliament Center (IPC), Ahmad Hanafi, menyatakan bahwa mekanisme pergantian anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di luar waktu (PAW) memiliki potensi membuat keseimbangan baru dalam politik. Meski berpotensi menjadi konflik internal, gugatan lima mahasiswa terhadap Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK) dapat membuat perubahan ini.
Menurut Hanafi, saat ini tidak ada mekanisme lain selain PAW untuk pergantian anggota DPR, kecuali melalui partai politik yang diatur lewat UU MD3. Dia menyatakan bahwa gugatan lima mahasiswa tersebut berpotensi dikabulkan oleh MK, bergantung pada argumen pemohon dan dinamika hakim konstitusi.
"Kalau soal dinamika politik di internal partai, justru mekanisme PAW terbuka malah dapat digunakan untuk membangun keseimbangan politik to. Karena ada kontrol langsung dari masyarakat," kata Hanafi saat dihubungi CNN Indonesia, Kamis (20/11).
Selain itu, upaya tersebut menurut dia patut diapresiasi agar ada kesetaraan antara proses pemilihan oleh masyarakat dan proses evaluasinya. Dengan demikian, partai tidak bisa asal mengganti kadernya di DPR tanpa basis legitimasi yang kuat sebagaimana perolehan suara di pemilu.
"Artinya, partai tidak bisa asal mem-PAW anggotanya tanpa basis legitimasi yang kuat sebagaimana perolehan suara di pemilu. Suara komplain konstituen juga harus dapat dijadikan rujukan," kata Hanafi.
Dia juga menyatakan bahwa DPR semestinya memiliki unit pengaduan terhadap kinerja anggotanya, termasuk program pelayanan anggota DPR terhadap konstituen.
"Seharusnya ada unit pengaduan komplain terhadap kinerja anggota DPR ya. Termasuk program pelayanan anggota DPR terhadap konstituen," katanya.
Gugatan lima mahasiswa tersebut melibatkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPRD (UU MD3) di Mahkamah Konstitusi (MK), dan meminta agar rakyat atau konstituen bisa memberhentikan anggota DPR RI.
Ketiadaan mekanisme pemberhentian anggota DPR oleh konstituen dinilai telah menempatkan peran pemilih dalam pemilu hanya sebatas prosedural formal. Sebab, anggota DPR terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak, tetapi pemberhentiannya tidak lagi melibatkan rakyat.
Dalam petitumnya, para pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."