Turun ke jalan, demo-Desak, Pemerintah Mundur!
Bulgaria, negara termiskin di Uni Eropa yang tengah menghadapi krisis ekonomi, kembali diguncang gelombang protes besar. Puluhan ribu warga memadati alun-alun di depan parlemen Sofia, membawa poster berisi tuntutan pergantian pemerintah.
Protes ini dimulai sejak pekan lalu saat warga menolak rancangan Anggaran 2026 yang dinilai menutupi praktik korupsi. Mahasiswa 21 tahun, Ventsislava Vasileva, mengatakan bahwa mereka di sana untuk memprotes masa depan mereka dan ingin menjadi negara Eropa, bukan negara yang diperintah oleh korupsi dan mafia.
Aksi utama berakhir, namun situasi memanas. Sejumlah demonstran bertopeng melempari kantor pusat partai DPS dengan batu dan botol. Polisi membalas dengan gas air mata dan melakukan sejumlah penangkapan. Kantor partai GERB, yang kini berkuasa, juga dirusak massa.
Presiden Bulgaria, Rumen Radev, ikut angkat suara dan menyebut kerusuhan itu sebagai "provokasi mafia". Ia meminta pemerintah segera mundur. "Hanya ada satu jalan keluar: pengunduran diri dan pemilihan umum dini," tegasnya.
Aksi serupa terjadi di berbagai kota lain, menjelang rencana pemerintah mengajukan amandemen anggaran 2026 pekan ini. Pemerintah sebelumnya berjanji menghapus poin kontroversial, termasuk kenaikan iuran jaminan sosial.
Namun, para pengkritik menyebut lembaga pengelola keuangan negara sarat korupsi dan kebijakan baru justru memperkuat praktik tersebut. "Jika pemerintah menangani situasi ini secara rasional, mereka seharusnya bisa bertahan dari krisis ini," ujar Daniel Smilov, ilmuwan politik dari Centre for Liberal Strategies.
Bulgaria secara konsisten masuk jajaran negara paling korup di Uni Eropa bersama Hongaria dan Rumania, menurut Indeks Persepsi Korupsi Transparency International. Kondisi politik negara Balkan itu memang labil, di mana sejak protes anti-korupsi tahun 2020, Bulgaria telah menggelar tujuh pemilu mendadak dengan yang terakhir dimenangkan partai konservatif GERB yang kini memimpin koalisi pemerintahan.
Bulgaria, negara termiskin di Uni Eropa yang tengah menghadapi krisis ekonomi, kembali diguncang gelombang protes besar. Puluhan ribu warga memadati alun-alun di depan parlemen Sofia, membawa poster berisi tuntutan pergantian pemerintah.
Protes ini dimulai sejak pekan lalu saat warga menolak rancangan Anggaran 2026 yang dinilai menutupi praktik korupsi. Mahasiswa 21 tahun, Ventsislava Vasileva, mengatakan bahwa mereka di sana untuk memprotes masa depan mereka dan ingin menjadi negara Eropa, bukan negara yang diperintah oleh korupsi dan mafia.
Aksi utama berakhir, namun situasi memanas. Sejumlah demonstran bertopeng melempari kantor pusat partai DPS dengan batu dan botol. Polisi membalas dengan gas air mata dan melakukan sejumlah penangkapan. Kantor partai GERB, yang kini berkuasa, juga dirusak massa.
Presiden Bulgaria, Rumen Radev, ikut angkat suara dan menyebut kerusuhan itu sebagai "provokasi mafia". Ia meminta pemerintah segera mundur. "Hanya ada satu jalan keluar: pengunduran diri dan pemilihan umum dini," tegasnya.
Aksi serupa terjadi di berbagai kota lain, menjelang rencana pemerintah mengajukan amandemen anggaran 2026 pekan ini. Pemerintah sebelumnya berjanji menghapus poin kontroversial, termasuk kenaikan iuran jaminan sosial.
Namun, para pengkritik menyebut lembaga pengelola keuangan negara sarat korupsi dan kebijakan baru justru memperkuat praktik tersebut. "Jika pemerintah menangani situasi ini secara rasional, mereka seharusnya bisa bertahan dari krisis ini," ujar Daniel Smilov, ilmuwan politik dari Centre for Liberal Strategies.
Bulgaria secara konsisten masuk jajaran negara paling korup di Uni Eropa bersama Hongaria dan Rumania, menurut Indeks Persepsi Korupsi Transparency International. Kondisi politik negara Balkan itu memang labil, di mana sejak protes anti-korupsi tahun 2020, Bulgaria telah menggelar tujuh pemilu mendadak dengan yang terakhir dimenangkan partai konservatif GERB yang kini memimpin koalisi pemerintahan.