Pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru yang diusulkan untuk berlaku mulai Januari 2026, ternyata masih banyak poin krusial yang memicu kekhawatiran masyarakat. Pasal penangkapan oleh penyelidik dan penggeledahan tanpa izin hakim menjadi dua aspek yang berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan.
Dalam Pasal 5 ayat 2 KUHAP, menyebutkan bahwa penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan seperti penangkapan dan penggeledahan. Menurut Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, aspek ini memicu kekhawatiran karena seseorang bisa ditahan kapan pun tanpa ada pemisahan yang jelas antara penyelidikan dan penyidikan. Imbasnya, polisi bisa sewenang-wenang menarget seseorang.
Sementara itu, Pasal 16 KUHAP baru juga menimbulkan kekhawatiran karena menyebutkan metode pembelian terselubung sebagai cara penyelidikan yang berpotensi jadi alat pemerasan. Menurut Fickar, metode ini hanya digunakan untuk kasus narkotika tetapi saat ini dapat diterapkan secara umum, memicu kekhawatiran bahwa seseorang bisa terkena hukuman tanpa ada bukti yang jelas.
Selain itu, Pasal 79 KUHAP juga menjadi titik perdebatan karena menyebutkan mekanisme keadilan restoratif yang berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan. Menurut Fickar, dalam KUHAP baru ini, keadilan restoratif bisa dilakukan sejak tahap penyelidikan, artinya membuka ruang untuk sogok suap dan jual beli perkara di antara penyidik dan calon tersangka atau terdakwa.
Sementara itu, Habiburokhman dari Komisi III DPR mengatakan bahwa kekhawatiran tentang Pasal keadilan restoratif hanya klaim sepihak. Menurut dia, keadilan restoratif bisa diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga proses di pengadilan dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada dalam KUHAP baru.
Namun, meski demikian, masih banyak poin krusial yang memicu kekhawatiran masyarakat tentang KUHAP baru ini. Sehingga, perlu dipertimbangkan apakah semua aspek dalam KUHAP barunya telah menjadi undang-undang yang adil dan tidak menimbulkan kesewenang-wenangan bagi rakyat Indonesia.
Dalam Pasal 5 ayat 2 KUHAP, menyebutkan bahwa penyelidik atas perintah penyidik dapat melakukan tindakan seperti penangkapan dan penggeledahan. Menurut Pakar Hukum Pidana Abdul Fickar Hadjar, aspek ini memicu kekhawatiran karena seseorang bisa ditahan kapan pun tanpa ada pemisahan yang jelas antara penyelidikan dan penyidikan. Imbasnya, polisi bisa sewenang-wenang menarget seseorang.
Sementara itu, Pasal 16 KUHAP baru juga menimbulkan kekhawatiran karena menyebutkan metode pembelian terselubung sebagai cara penyelidikan yang berpotensi jadi alat pemerasan. Menurut Fickar, metode ini hanya digunakan untuk kasus narkotika tetapi saat ini dapat diterapkan secara umum, memicu kekhawatiran bahwa seseorang bisa terkena hukuman tanpa ada bukti yang jelas.
Selain itu, Pasal 79 KUHAP juga menjadi titik perdebatan karena menyebutkan mekanisme keadilan restoratif yang berpotensi menimbulkan kesewenang-wenangan. Menurut Fickar, dalam KUHAP baru ini, keadilan restoratif bisa dilakukan sejak tahap penyelidikan, artinya membuka ruang untuk sogok suap dan jual beli perkara di antara penyidik dan calon tersangka atau terdakwa.
Sementara itu, Habiburokhman dari Komisi III DPR mengatakan bahwa kekhawatiran tentang Pasal keadilan restoratif hanya klaim sepihak. Menurut dia, keadilan restoratif bisa diterapkan sejak tahap penyelidikan hingga proses di pengadilan dengan memperhatikan ketentuan yang sudah ada dalam KUHAP baru.
Namun, meski demikian, masih banyak poin krusial yang memicu kekhawatiran masyarakat tentang KUHAP baru ini. Sehingga, perlu dipertimbangkan apakah semua aspek dalam KUHAP barunya telah menjadi undang-undang yang adil dan tidak menimbulkan kesewenang-wenangan bagi rakyat Indonesia.