Pajak Pertambahan Nilai (PPN) tahun depan akan diturunkan lagi?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terlihat terbuka soal penurunan tarif PPN tahun depan. Menurut dia, penurunan tarif PPN masih menjadi pilihan yang baik untuk mendorong daya beli masyarakat. Namun, dia juga menekankan pentingnya menjaga basis pajak yang luas untuk mencegah defisit dan pembiayaan fiskal tetap terkendali.
Purbaya menyatakan bahwa perkembangan ekonomi terakhir telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ini termasuk konsumsi masyarakat yang mulai meningkat setelah pemerintah mengalirkan dana ke sistem perekonomian, melalui penempatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) di Himbara. Dengan demikian, opsi penurunan PPN masih akan dipelajari terlebih dahulu.
Namun, ekonomin dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi melihat penurunan PPN pada 2026 peluangnya cukup kecil. Ia menekankan bahwa pemerintah sudah memilih format 'terarah' di mana tarif 12 persen hanya untuk kelompok barang atau jasa mewah.
Sementara itu, Economic Researcher CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat ada proses panjang bagi Purbaya untuk menurunkan tarif PPN. Ia menyatakan bahwa penurunan tarif umum berisiko menggerus penerimaan tanpa kepastian dampak ke konsumsi.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menekankan pentingnya membandingkan besaran tarif PPN dengan penurunan besaran tarif PPh Badan. Ia juga mencontohkan Vietnam, di mana ketika tarif PPN diturunkan maka perlu melakukan efisiensi dengan membubarkan banyak kementerian dan lembaga serta pemberhentian banyak aparatur negara.
Syafruddin juga menyatakan bahwa posisi PPN Indonesia sebenarnya relatif 'menengah' dalam peta regional–global. Efektif 11 persen untuk penyerahan non mewah menempatkan Indonesia di atas Thailand 7 persen, di atas Singapura 9 persen, sejajar Filipina 12 persen, di bawah Jepang 10 persen, Australia 10 persen, dan Selandia Baru 15 persen.
Sementara itu, Economic Researcher CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat ada proses panjang bagi Purbaya untuk menurunkan tarif PPN. Ia menyatakan bahwa penurunan tarif umum berisiko menggerus penerimaan tanpa kepastian dampak ke konsumsi.
Dengan demikian, peluang penurunan tarif PPN tahun depan masih menjadi topik yang menarik untuk ditinjau. Namun, perlu diingat bahwa setiap negara memiliki konteks dan kapasitas fiskal yang berbeda. Oleh karena itu, perbandingan tarif PPN antarnegara tidak bisa dilakukan secara langsung.
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa terlihat terbuka soal penurunan tarif PPN tahun depan. Menurut dia, penurunan tarif PPN masih menjadi pilihan yang baik untuk mendorong daya beli masyarakat. Namun, dia juga menekankan pentingnya menjaga basis pajak yang luas untuk mencegah defisit dan pembiayaan fiskal tetap terkendali.
Purbaya menyatakan bahwa perkembangan ekonomi terakhir telah menunjukkan tanda-tanda perbaikan. Ini termasuk konsumsi masyarakat yang mulai meningkat setelah pemerintah mengalirkan dana ke sistem perekonomian, melalui penempatan Sisa Anggaran Lebih (SAL) di Himbara. Dengan demikian, opsi penurunan PPN masih akan dipelajari terlebih dahulu.
Namun, ekonomin dari Departemen Ekonomi Universitas Andalas Syafruddin Karimi melihat penurunan PPN pada 2026 peluangnya cukup kecil. Ia menekankan bahwa pemerintah sudah memilih format 'terarah' di mana tarif 12 persen hanya untuk kelompok barang atau jasa mewah.
Sementara itu, Economic Researcher CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat ada proses panjang bagi Purbaya untuk menurunkan tarif PPN. Ia menyatakan bahwa penurunan tarif umum berisiko menggerus penerimaan tanpa kepastian dampak ke konsumsi.
Pengamat pajak dari Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menekankan pentingnya membandingkan besaran tarif PPN dengan penurunan besaran tarif PPh Badan. Ia juga mencontohkan Vietnam, di mana ketika tarif PPN diturunkan maka perlu melakukan efisiensi dengan membubarkan banyak kementerian dan lembaga serta pemberhentian banyak aparatur negara.
Syafruddin juga menyatakan bahwa posisi PPN Indonesia sebenarnya relatif 'menengah' dalam peta regional–global. Efektif 11 persen untuk penyerahan non mewah menempatkan Indonesia di atas Thailand 7 persen, di atas Singapura 9 persen, sejajar Filipina 12 persen, di bawah Jepang 10 persen, Australia 10 persen, dan Selandia Baru 15 persen.
Sementara itu, Economic Researcher CORE Indonesia Yusuf Rendy Manilet melihat ada proses panjang bagi Purbaya untuk menurunkan tarif PPN. Ia menyatakan bahwa penurunan tarif umum berisiko menggerus penerimaan tanpa kepastian dampak ke konsumsi.
Dengan demikian, peluang penurunan tarif PPN tahun depan masih menjadi topik yang menarik untuk ditinjau. Namun, perlu diingat bahwa setiap negara memiliki konteks dan kapasitas fiskal yang berbeda. Oleh karena itu, perbandingan tarif PPN antarnegara tidak bisa dilakukan secara langsung.