Pasar global mulai menutup pintu bagi komoditas hitam, yaitu batubara. Tiongkok dan India, dua negara utama ekspor batubara Indonesia, kini mengalami pergerakan yang berarti. Pasar ekspor terbesar Indonesia turun, dan China dan India mulai meninggalkan batubara Indonesia.
Menurut analis dari Energy Shift Institute, Nabila Gunawan, permintaan impor batubara dari Tiongkok dan Cina turun di tahun April 2025. Rekor turun ini menunjukkan bahwa sumber energi terbarukan seperti angin dan surya kini telah mendominasi pertumbuhan listrik di berbagai negara, termasuk Tiongkok.
Indonesia masih 18-19 tahun tertinggal dari kondisi dunia dalam hal produksi listrik berbasis energi terbarukan. Sebagai produsen dan eksportir batu bara terbesar dunia, Indonesia mengekspor lebih dari 70 persen hasil produksinya. Namun, ketika pasar ekspor hilang, risiko terbesar justru mengintai bank domestik yang masih menggantungkan portofolio investasinya pada industri fosil.
Lebih dari 70 persen pendanaan proyek batubara diterima oleh bank-bank Himbara, yaitu Mandiri, BRI, dan BNI. Namun, perbankan ini tidak menyadari bahwa aliran dana publik yang terus mengalir ke sektor batu bara merupakan bentuk misalignment antara kebijakan energi nasional dan kebijakan finansial.
Jika pasar ekspor terus menyusut, nilai aset bank yang terkait sektor batubara berpotensi turun drastis, bahkan bisa menjadi beban ekonomi jangka panjang. Batu bara mengalami penurunan harga, dan proyek-proyek ini diharapkan untuk terusan karena masih mendapatkan pendanaan dari bank-bank tersebut.
Tren pengurangan konsumsi batubara di Tiongkok dan India bukan sekadar janji, tapi telah tercermin dalam kebijakan nasional mereka. Sejak 2021, pemerintah China mengeluarkan proyek-proyek berbasis batu bara dari Green Bond Catalog, sehingga tidak lagi dianggap sebagai investasi hijau. Bahkan di Australia, negara lain yang menjadi pengekspor batubara terbesar, pembangkit listrik berbasis batu bara kini tidak lagi memenuhi kriteria ramah lingkungan.
Dengan kebijakan itu, Indonesia berisiko kehilangan daya tarik di mata investor global yang kini hanya menyalurkan modal ke proyek berlabel hijau. Jika kita tetap memaksakan batu bara sebagai bagian dari ekonomi, investor internasional akan mulai menjauh.
Menurut analis dari Energy Shift Institute, Nabila Gunawan, permintaan impor batubara dari Tiongkok dan Cina turun di tahun April 2025. Rekor turun ini menunjukkan bahwa sumber energi terbarukan seperti angin dan surya kini telah mendominasi pertumbuhan listrik di berbagai negara, termasuk Tiongkok.
Indonesia masih 18-19 tahun tertinggal dari kondisi dunia dalam hal produksi listrik berbasis energi terbarukan. Sebagai produsen dan eksportir batu bara terbesar dunia, Indonesia mengekspor lebih dari 70 persen hasil produksinya. Namun, ketika pasar ekspor hilang, risiko terbesar justru mengintai bank domestik yang masih menggantungkan portofolio investasinya pada industri fosil.
Lebih dari 70 persen pendanaan proyek batubara diterima oleh bank-bank Himbara, yaitu Mandiri, BRI, dan BNI. Namun, perbankan ini tidak menyadari bahwa aliran dana publik yang terus mengalir ke sektor batu bara merupakan bentuk misalignment antara kebijakan energi nasional dan kebijakan finansial.
Jika pasar ekspor terus menyusut, nilai aset bank yang terkait sektor batubara berpotensi turun drastis, bahkan bisa menjadi beban ekonomi jangka panjang. Batu bara mengalami penurunan harga, dan proyek-proyek ini diharapkan untuk terusan karena masih mendapatkan pendanaan dari bank-bank tersebut.
Tren pengurangan konsumsi batubara di Tiongkok dan India bukan sekadar janji, tapi telah tercermin dalam kebijakan nasional mereka. Sejak 2021, pemerintah China mengeluarkan proyek-proyek berbasis batu bara dari Green Bond Catalog, sehingga tidak lagi dianggap sebagai investasi hijau. Bahkan di Australia, negara lain yang menjadi pengekspor batubara terbesar, pembangkit listrik berbasis batu bara kini tidak lagi memenuhi kriteria ramah lingkungan.
Dengan kebijakan itu, Indonesia berisiko kehilangan daya tarik di mata investor global yang kini hanya menyalurkan modal ke proyek berlabel hijau. Jika kita tetap memaksakan batu bara sebagai bagian dari ekonomi, investor internasional akan mulai menjauh.