Dalam setahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, tercatat 1.593 kasus hoaks beredar di masyarakat. Oganisasi nirlaba Mafindo menghimpun dan memverifikasi data disinformasi ini dalam kurun waktu 21 Oktober 2024 hingga 17 Oktober 2025.
Hasil riset Mafindo menunjukkan, kasus hoaks tersebar setiap bulannya di berbagai platform digital dengan tingkat intensitas bervariasi. Presidium Mafindo Pengampu Komite Litbang, Loina Lalolo Krina Perangin-angin, mengungkapkan puncak frekuensi hoaks terjadi pada Juli 2025. Total kasus hoaks pada bulan itu sebanyak 180 kasus atau sekitar 11,30 persen dari total hoaks yang diverifikasi.
Menurut Loina, puncak frekuensi hoaks terjadi karena ada kasus Israel dan Palestina, sehingga menyebabkan banyaknya hoaks tersebut. Sementara itu, pada November 2024 dan Januari 2025, lonjakan kasus hoaks juga terjadi dengan total 163 hoaks dan 158 hoaks, masing-masing sekitar 10,23 persen dan 9,92 persen dari total.
Setelah puncak penyebaran informasi pada Juli 2025, Mafindo mencatat frekuensi penyebaran hoaks cenderung menurun dari Agustus hingga Oktober 2025. Dengan kisaran antara 139-85 kasus atau 8,73 hingga 5,34 persen.
Mafindo juga memetakan data hoaks ini berdasarkan tema. Tema politik tercatat menjadi tema disinformasi yang menonjol, yaitu sebanyak 773 hoaks atau 48,5 persen dari total hoaks. Lalu disusul dengan tema lowongan sebanyak 171 hoaks atau 10,7 persen, dan bantuan sebanyak 100 hoaks atau 6,3 persen.
Rincian target dari hoaks bertema politik menunjukkan bahwa disinformasi ini paling banyak menyasar pemerintah dengan total 374 temuan. Selain itu, hoaks politik juga sering menargetkan pemerintah asing, dengan hoaks teridentifikasi sebanyak 126 temuan.
Loina menjelaskan, tema hoaks setiap tahunnya berbeda. Misalnya pada masa pandemi Covid-19, tema hoaks tertinggi adalah kesehatan. "Sebetulnya hoaks ini berubah-ubah tergantung konteksnya. Jadi waktu 2020 hingga 2022 itu kesehatan, sedangkan tahun ini tema kesehatan hanya 5,6 persen," tutur Loina.
Tren tema disinformasi yang juga menonjol adalah hoaks lowongan pekerjaan dan bantuan sosial. Berdasarkan catatan Mafindo, dalam kategori hoaks bertema lowongan, entitas yang paling banyak dicatut sebagai sumber atau pemberi kerja palsu adalah pemerintah, korporasi domestik, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina.
Lebih lanjut, Loina menyoroti peran akal imitasi dalam produksi konten palsu. Mafindo, kata dia, menemukan peningkatan signifikan konten hoaks berbasis akal imitasi. "Terutama deepfake yang sulit dideteksi publik awam. Narasi semacam ini mudah menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga negara dan korporasi besar, termasuk BUMN," tutur dia.
Dalam tugasnya memverifikasi informasi, Mafindo dalam melakukan pemeriksaan atas penggunaan AI dalam hoaks yang tersebar. Dari total 1.593 hoaks yang terverifikasi, sebanyak 202 atau 12,7 persen di antaranya merupakan hasil penggunaan AI.
Hasil riset Mafindo menunjukkan, kasus hoaks tersebar setiap bulannya di berbagai platform digital dengan tingkat intensitas bervariasi. Presidium Mafindo Pengampu Komite Litbang, Loina Lalolo Krina Perangin-angin, mengungkapkan puncak frekuensi hoaks terjadi pada Juli 2025. Total kasus hoaks pada bulan itu sebanyak 180 kasus atau sekitar 11,30 persen dari total hoaks yang diverifikasi.
Menurut Loina, puncak frekuensi hoaks terjadi karena ada kasus Israel dan Palestina, sehingga menyebabkan banyaknya hoaks tersebut. Sementara itu, pada November 2024 dan Januari 2025, lonjakan kasus hoaks juga terjadi dengan total 163 hoaks dan 158 hoaks, masing-masing sekitar 10,23 persen dan 9,92 persen dari total.
Setelah puncak penyebaran informasi pada Juli 2025, Mafindo mencatat frekuensi penyebaran hoaks cenderung menurun dari Agustus hingga Oktober 2025. Dengan kisaran antara 139-85 kasus atau 8,73 hingga 5,34 persen.
Mafindo juga memetakan data hoaks ini berdasarkan tema. Tema politik tercatat menjadi tema disinformasi yang menonjol, yaitu sebanyak 773 hoaks atau 48,5 persen dari total hoaks. Lalu disusul dengan tema lowongan sebanyak 171 hoaks atau 10,7 persen, dan bantuan sebanyak 100 hoaks atau 6,3 persen.
Rincian target dari hoaks bertema politik menunjukkan bahwa disinformasi ini paling banyak menyasar pemerintah dengan total 374 temuan. Selain itu, hoaks politik juga sering menargetkan pemerintah asing, dengan hoaks teridentifikasi sebanyak 126 temuan.
Loina menjelaskan, tema hoaks setiap tahunnya berbeda. Misalnya pada masa pandemi Covid-19, tema hoaks tertinggi adalah kesehatan. "Sebetulnya hoaks ini berubah-ubah tergantung konteksnya. Jadi waktu 2020 hingga 2022 itu kesehatan, sedangkan tahun ini tema kesehatan hanya 5,6 persen," tutur Loina.
Tren tema disinformasi yang juga menonjol adalah hoaks lowongan pekerjaan dan bantuan sosial. Berdasarkan catatan Mafindo, dalam kategori hoaks bertema lowongan, entitas yang paling banyak dicatut sebagai sumber atau pemberi kerja palsu adalah pemerintah, korporasi domestik, dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seperti Pertamina.
Lebih lanjut, Loina menyoroti peran akal imitasi dalam produksi konten palsu. Mafindo, kata dia, menemukan peningkatan signifikan konten hoaks berbasis akal imitasi. "Terutama deepfake yang sulit dideteksi publik awam. Narasi semacam ini mudah menggerus kepercayaan publik terhadap lembaga negara dan korporasi besar, termasuk BUMN," tutur dia.
Dalam tugasnya memverifikasi informasi, Mafindo dalam melakukan pemeriksaan atas penggunaan AI dalam hoaks yang tersebar. Dari total 1.593 hoaks yang terverifikasi, sebanyak 202 atau 12,7 persen di antaranya merupakan hasil penggunaan AI.