Kasus Pemerasan RPTKA Diperkuat: Eks Sekjen Kemnaker Jadi Tersangka Baru
Kekacauan korupsi di Kemenaker terus mengejutkan. Sementara ini, Delapan pejabat tinggi di Kemnaker, termasuk eks Sekjen Heri Sudarmanto, dituduh menjadi tersangka baru dalam kasus pemerasan RPTKA (Rencana Pemberdayaan Tenaga Kerja Aktif Belia Nasional). Modus pemerasannya terjadi sejak awal saat agen TKA mengurus sendiri di Direktorat PPTKA bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemnaker.
Menurut sumber, para tersangka hanya memprioritaskan pemohon yang sudah menyetorkan uang, sementara mereka yang belum melakukan itu akan diperhambat proses RPTKA. Bukan hanya itu, pemohon juga sering kali dikejutkan untuk 'membantu' agar proses RPTKA bisa segera terbit, padahal perusahaan yang terlambat menerbitkan RPTKA juga dapat dikenakan denda Rp 1 juta.
Para pejabat tinggi di Kemnaker seperti SH, HY, WP, dan DA diduga memberikan perintah kepada verifikator PCW, ALF, dan JMS untuk memungut uang dari pemohon. Pemohon yang sudah menyetorkan uang nantinya diberikan jadwal wawancara identitas dan pekerjaan TKA di Skype dengan jadwal manual.
Jumlah uang yang terkumpul dalam rentang waktu 2019-2024 mencapai Rp 53,7 miliar. Bukan hanya delapan tersangka saja yang mendapatkan uang hasil pemerasan itu, tetapi juga ada 85 pegawai di Direktorat PPTKA ikut kecipratan sebesar Rp 8,95 miliar.
Selain itu, uang panas ini juga pernah mengalir ke office boy dan beberapa staf yang bekerja lainnya. Budi Sukmo Wibowo, Plh Direktur Penyidikan KPK, menyebutkan bahwa kurang lebih Rp 8 miliar yang dinikmati bersama baik untuk keperluan makan siang maupun kegiatan-kegiatan non-budgeter.
Menurut Budi, uang panas ini juga mengalir ke office boy dan beberapa staf lainnya, dengan nilai yang tidak dibenarkan yaitu Rp 5 miliar.
Kekacauan korupsi di Kemenaker terus mengejutkan. Sementara ini, Delapan pejabat tinggi di Kemnaker, termasuk eks Sekjen Heri Sudarmanto, dituduh menjadi tersangka baru dalam kasus pemerasan RPTKA (Rencana Pemberdayaan Tenaga Kerja Aktif Belia Nasional). Modus pemerasannya terjadi sejak awal saat agen TKA mengurus sendiri di Direktorat PPTKA bawah Direktorat Jenderal Binapenta dan PKK Kemnaker.
Menurut sumber, para tersangka hanya memprioritaskan pemohon yang sudah menyetorkan uang, sementara mereka yang belum melakukan itu akan diperhambat proses RPTKA. Bukan hanya itu, pemohon juga sering kali dikejutkan untuk 'membantu' agar proses RPTKA bisa segera terbit, padahal perusahaan yang terlambat menerbitkan RPTKA juga dapat dikenakan denda Rp 1 juta.
Para pejabat tinggi di Kemnaker seperti SH, HY, WP, dan DA diduga memberikan perintah kepada verifikator PCW, ALF, dan JMS untuk memungut uang dari pemohon. Pemohon yang sudah menyetorkan uang nantinya diberikan jadwal wawancara identitas dan pekerjaan TKA di Skype dengan jadwal manual.
Jumlah uang yang terkumpul dalam rentang waktu 2019-2024 mencapai Rp 53,7 miliar. Bukan hanya delapan tersangka saja yang mendapatkan uang hasil pemerasan itu, tetapi juga ada 85 pegawai di Direktorat PPTKA ikut kecipratan sebesar Rp 8,95 miliar.
Selain itu, uang panas ini juga pernah mengalir ke office boy dan beberapa staf yang bekerja lainnya. Budi Sukmo Wibowo, Plh Direktur Penyidikan KPK, menyebutkan bahwa kurang lebih Rp 8 miliar yang dinikmati bersama baik untuk keperluan makan siang maupun kegiatan-kegiatan non-budgeter.
Menurut Budi, uang panas ini juga mengalir ke office boy dan beberapa staf lainnya, dengan nilai yang tidak dibenarkan yaitu Rp 5 miliar.