Pemerintah dan DPR RI mengklaim keakuratan rapat Panja RUU KUHAP, padahal koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP menolaknya. Dalam rapat Panja pada 12-13 November lalu, pemerintah dan Komisi III DPR RI membahas masukan pasal yang diklaim berasal dari masyarakat sipil. Namun, koalisi menyatakan bahwa sebagian masukan tersebut tidak akurat dan memiliki perbedaan substansi yang signifikan dengan masukan-masukan mereka.
Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan menilai rapat Panja seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal, ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil.
Koalisi menolak dicatut karena pembahasan RUU KUHAP yang singkat dan tidak substansial hanya seperti mengulang apa yang terjadi pada Juli 2025 lalu. Pasal-pasal bermasalah, pasal karet, dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang disampaikan koalisi berulang-ulang tidak dibahas.
Fadhil Alfathan menambah bahwa masih terdapat pasal karet dengan dalih mengamankan, khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana. Tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.
Selain itu, terdapat mekanisme Paksa Penggeledahan, Penyitaan, Pemblokiran yang dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif aparat. RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk.
Karenanya, koalisi mendesak Presiden Prabowo Subianto menarik draf RUU KUHAP agar tidak dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna demi perbaikan sistem hukum acara, penegakan hukum transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip peradilan yang inklusif, jujur, dan adil.
Direktur LBH Jakarta Fadhil Alfathan menilai rapat Panja seperti orkestrasi kebohongan untuk memberikan kesan bahwa DPR dan Pemerintah telah mengakomodir masukan. Padahal, ini adalah bentuk meaningful manipulation dengan memasukan pasal-pasal bermasalah atas nama koalisi atau organisasi masyarakat sipil.
Koalisi menolak dicatut karena pembahasan RUU KUHAP yang singkat dan tidak substansial hanya seperti mengulang apa yang terjadi pada Juli 2025 lalu. Pasal-pasal bermasalah, pasal karet, dan pasal yang menyuburkan praktik penyalahgunaan wewenang sebagaimana yang disampaikan koalisi berulang-ulang tidak dibahas.
Fadhil Alfathan menambah bahwa masih terdapat pasal karet dengan dalih mengamankan, khususnya pada tahap penyelidikan yang belum terkonfirmasi ada tidaknya tindak pidana. Tindakan yang bisa dilakukan pada tahap penyelidikan sangat terbatas, tidak sama sekali diperbolehkan untuk melakukan penahanan.
Selain itu, terdapat mekanisme Paksa Penggeledahan, Penyitaan, Pemblokiran yang dilakukan tanpa izin pengadilan dengan alasan keadaan mendesak berdasarkan penilaian subjektif aparat. RUU KUHAP juga memberikan kewenangan kepada penyidik untuk melakukan penyadapan tanpa izin hakim dengan dilandaskan pada undang-undang yang bahkan belum terbentuk.
Karenanya, koalisi mendesak Presiden Prabowo Subianto menarik draf RUU KUHAP agar tidak dilanjutkan dalam pembahasan Tingkat II sidang paripurna demi perbaikan sistem hukum acara, penegakan hukum transparan, akuntabel, dan mengedepankan prinsip peradilan yang inklusif, jujur, dan adil.