Sarwo Edhie Wibowo diangkat sebagai pahlawan nasional karena perannya penting dalam penumpasan G30S/PKI, perjuangan yang sangat berdampak bagi negara. Pada saat itu, Indonesia sedang menghadapi ancaman keamanan dari kelompok-kelompok komunis yang menuntut kemerdekaan. Sarwo Edhie Wibowo ditempatkan sebagai panglima pasukan elite TNI AD, yaitu Batalyon Resimen Angkatan Darat (RPKAD), yang kemudian menjadi Komando Pasukan Khusus (Kopassus).
Sarwo Edhie Wibowo juga pernah menjabat sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan, Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri, dan Gubernur AKABRI. Ia memiliki latar belakang yang sangat luas dalam dunia keamanan nasional. Namun, yang paling menonjol adalah perannya sebagai panglima pasukan yang dapat menguasai kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan gedung telekomunikasi.
Sarwo Edhie Wibowo juga diperintah oleh Soeharto untuk merebut kembali Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pada saat itu, Bandara Halim menjadi basis kekuatan kelompok Untung. Dalam waktu beberapa jam, Sarwo Edhie dan RPKAD berhasil merebut Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Sarwo Edhie Wibowo terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1988. Namun ia mengundurkan diri karena protes atas pencalonan Sudharmono sebagai Wakil Presiden.
Sarwo Edhie Wibowo juga pernah menjabat sebagai Ketua BP-7 Pusat, Duta besar Indonesia untuk Korea Selatan, Inspektur Jenderal Departemen Luar Negeri, dan Gubernur AKABRI. Ia memiliki latar belakang yang sangat luas dalam dunia keamanan nasional. Namun, yang paling menonjol adalah perannya sebagai panglima pasukan yang dapat menguasai kembali Radio Republik Indonesia (RRI) dan gedung telekomunikasi.
Sarwo Edhie Wibowo juga diperintah oleh Soeharto untuk merebut kembali Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma. Pada saat itu, Bandara Halim menjadi basis kekuatan kelompok Untung. Dalam waktu beberapa jam, Sarwo Edhie dan RPKAD berhasil merebut Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma.
Sarwo Edhie Wibowo terpilih menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada tahun 1988. Namun ia mengundurkan diri karena protes atas pencalonan Sudharmono sebagai Wakil Presiden.