Dinas Perhubungan DKI Jakarta, atau dalam bahasa Indonesia yang lebih umum disebut sebagai pemerintah daerah Jakarta, tidak akan menaikkan tarif MRT dan LRT Jakarta, meskipun ada penurunan Dana Bagi Hasil (DBH) dari pemerintah pusat sebesar Rp 15 triliun.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, menyatakan bahwa analisis subsidi tarif MRT dan LRT masih masuk dalam perhitungan. Menurutnya, jika dilihat dari hitungan tahun lalu, tarif MRT pada tahun sebelumnya adalah Rp 13 ribu sekian, sedangkan LRT Rp 7 ribu rupiah. Sehingga, subsidi 2024 rata-rata per pelanggan itu sekitar Rp 6 ribu rupiah dan masih masuk dari perhitungan.
Sementara itu, tarif Transjakarta memerlukan penyesuaian, karena telah beroperasi selama dua puluh tahun sejak tahun 2005. Menurut Syafrin, tarif tersebut diterapkan saat bus belum berganti nama menjadi Transjakarta. Dia menyatakan bahwa jika dilakukan analisis tentang tarif Transjakarta pada tahun 2005, dan dibandingkan dengan angka upah minimum provinsi pada saat itu, maka nilai Rp 3.500 tersebut akan dianggap sebagai tarif UMP 2005.
Syafrin juga mengingatkan bahwa harga barang pada 2005 disamakan dengan saat ini telah terjadi kenaikan sebesar 2,87 kali lipat. Jika dilihat dari rata-rata inflasi selama dua puluh tahun terakhir, yaitu 5,4, maka nilai inflasi tersebut akan mencapai 186,7% dan harga barang meningkat 2,87 kali lipat.
Menurut Syafrin, penyesuaian tarif Transjakarta dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan layanan. Namun, sampai saat ini kenaikan tarif masih belum dilakukan. Dia menyatakan bahwa penyesuaian tersebut perlu dilakukan karena harus ada cost recovery minimal untuk kemudian selebihnya dapat ditutup dengan subsidi.
Penurunan APBD DKI Jakarta 2026 sebesar Rp 15 triliun menjadi Rp 79 triliun, dianggap sebagai tantangan bagi Pemprov Jakarta. Maka dari itu, perlu dilakukan realokasi dan efisiensi agar program-program yang dibangun dapat berjalan dengan baik.
Syafrin Liputo, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta, menyatakan bahwa analisis subsidi tarif MRT dan LRT masih masuk dalam perhitungan. Menurutnya, jika dilihat dari hitungan tahun lalu, tarif MRT pada tahun sebelumnya adalah Rp 13 ribu sekian, sedangkan LRT Rp 7 ribu rupiah. Sehingga, subsidi 2024 rata-rata per pelanggan itu sekitar Rp 6 ribu rupiah dan masih masuk dari perhitungan.
Sementara itu, tarif Transjakarta memerlukan penyesuaian, karena telah beroperasi selama dua puluh tahun sejak tahun 2005. Menurut Syafrin, tarif tersebut diterapkan saat bus belum berganti nama menjadi Transjakarta. Dia menyatakan bahwa jika dilakukan analisis tentang tarif Transjakarta pada tahun 2005, dan dibandingkan dengan angka upah minimum provinsi pada saat itu, maka nilai Rp 3.500 tersebut akan dianggap sebagai tarif UMP 2005.
Syafrin juga mengingatkan bahwa harga barang pada 2005 disamakan dengan saat ini telah terjadi kenaikan sebesar 2,87 kali lipat. Jika dilihat dari rata-rata inflasi selama dua puluh tahun terakhir, yaitu 5,4, maka nilai inflasi tersebut akan mencapai 186,7% dan harga barang meningkat 2,87 kali lipat.
Menurut Syafrin, penyesuaian tarif Transjakarta dibutuhkan untuk menjaga keberlanjutan layanan. Namun, sampai saat ini kenaikan tarif masih belum dilakukan. Dia menyatakan bahwa penyesuaian tersebut perlu dilakukan karena harus ada cost recovery minimal untuk kemudian selebihnya dapat ditutup dengan subsidi.
Penurunan APBD DKI Jakarta 2026 sebesar Rp 15 triliun menjadi Rp 79 triliun, dianggap sebagai tantangan bagi Pemprov Jakarta. Maka dari itu, perlu dilakukan realokasi dan efisiensi agar program-program yang dibangun dapat berjalan dengan baik.