Indonesia yang Terluka, Namun Tetap Berdiri: Membahas Pemberian Gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto
Dalam peristiwa bersejarah yang terjadi pada 23 September 2024, Anggota DPR RI dan Ketua MPR RI ke-15 Bambang Soesatyo membawa sebuah kelanjutan dari perjuangan nasional. Dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR RI periode 2019-2024, Soesatyo mengusulkan kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Kelanjutan ini diikuti oleh pencabutan nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
Pembahasan mengenai gelar pahlawan ini menunjukkan bahwa Soesatyo ingin mengakui jasa-jasa Soeharto dalam membangun bangsa Indonesia. Dengan dicabutnya Tap MPR tersebut, beban politik dan stigma yang selama ini dilekatkan kepada Pak Harto secara formal sudah selesai. Kini saatnya kita menatap sejarah dengan cara yang lebih adil dan objektif. Mengakui keberhasilan tanpa mengingkari pelajaran dari masa lalu.
Soesatyo juga menjelaskan bahwa Soeharto mampu memulihkan pemerintahan dan mengonsolidasikan negara setelah peristiwa 1965 yang mengguncang perekonomian dan politik nasional. Ia menata ulang sistem ekonomi, memperkuat lembaga negara, dan mengembalikan kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Di tangan Soeharto, bangsa ini mengalami masa keemasan pembangunan.
Namun, penghargaan terhadap Soeharta juga harus berorientasi pada kontribusi besar Soeharto terhadap perjalanan sejarah bangsa. Dengan menempatkan peran dan jasanya dalam keseimbangan sejarah bangsa, sekaligus menjadi simbol penghormatan negara kepada pemimpin yang berjasa besar bagi bangsa dan negara Indonesia.
"Keputusan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Pak Harto akan menjadi langkah bersejarah dan simbol rekonsiliasi nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghormati pemimpinnya dan menempatkan sejarah secara adil, tanpa dipengaruhi oleh emosi politik masa lalu," kata Soesatyo.
Dengan demikian, kelanjutan ini menunjukkan bahwa Indonesia yang terluka namun tetap berdiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghormati pemimpinnya dan menempatkan sejarah secara adil, tanpa dipengaruhi oleh emosi politik masa lalu.
Dalam peristiwa bersejarah yang terjadi pada 23 September 2024, Anggota DPR RI dan Ketua MPR RI ke-15 Bambang Soesatyo membawa sebuah kelanjutan dari perjuangan nasional. Dalam Sidang Paripurna Akhir Masa Jabatan MPR RI periode 2019-2024, Soesatyo mengusulkan kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Soeharto dan presiden pertama Republik Indonesia Soekarno. Kelanjutan ini diikuti oleh pencabutan nama Soeharto dari Ketetapan (TAP) MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang perintah untuk menyelenggarakan yang bersih tanpa Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN).
Pembahasan mengenai gelar pahlawan ini menunjukkan bahwa Soesatyo ingin mengakui jasa-jasa Soeharto dalam membangun bangsa Indonesia. Dengan dicabutnya Tap MPR tersebut, beban politik dan stigma yang selama ini dilekatkan kepada Pak Harto secara formal sudah selesai. Kini saatnya kita menatap sejarah dengan cara yang lebih adil dan objektif. Mengakui keberhasilan tanpa mengingkari pelajaran dari masa lalu.
Soesatyo juga menjelaskan bahwa Soeharto mampu memulihkan pemerintahan dan mengonsolidasikan negara setelah peristiwa 1965 yang mengguncang perekonomian dan politik nasional. Ia menata ulang sistem ekonomi, memperkuat lembaga negara, dan mengembalikan kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Di tangan Soeharto, bangsa ini mengalami masa keemasan pembangunan.
Namun, penghargaan terhadap Soeharta juga harus berorientasi pada kontribusi besar Soeharto terhadap perjalanan sejarah bangsa. Dengan menempatkan peran dan jasanya dalam keseimbangan sejarah bangsa, sekaligus menjadi simbol penghormatan negara kepada pemimpin yang berjasa besar bagi bangsa dan negara Indonesia.
"Keputusan untuk memberikan gelar Pahlawan Nasional kepada Pak Harto akan menjadi langkah bersejarah dan simbol rekonsiliasi nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghormati pemimpinnya dan menempatkan sejarah secara adil, tanpa dipengaruhi oleh emosi politik masa lalu," kata Soesatyo.
Dengan demikian, kelanjutan ini menunjukkan bahwa Indonesia yang terluka namun tetap berdiri. Bangsa yang besar adalah bangsa yang berani menghormati pemimpinnya dan menempatkan sejarah secara adil, tanpa dipengaruhi oleh emosi politik masa lalu.