Tantangan bisnis Starlink meningkat seiring dengan kemajuan teknologinya dalam memberikan akses internet cepat kepada wilayah-wilayah yang terisolasi di Indonesia. Meskipun Starlink berhasil menembus pasar dengan menggunakan teknologi satelit orbit rendah (LEO), perusahaan ini harus menghadapi tantangan serius terkait keterjangkauan dan keberlanjutan model bisnisnya.
Menurut laporan terbaru dari Opensignal, harga yang tinggi dan performa yang fluktuatif telah membuat dampak ekonominya belum optimal. Dalam satu tahun beroperasi, Starlink mencatatkan persebaran pelanggan yang menarik, yakni 60% pengguna berada di wilayah pedesaan, jauh di atas pengguna jaringan kabel tetap dan Fixed Wireless Access (FWA). Namun, tantangan muncul pada aspek adopsi massal. Banyak masyarakat pedesaan yang menjadi target utama justru belum mampu berlangganan.
Harga perangkat Starlink mencapai Rp4,75 jutaβRp9 juta dan tarif bulanan Rp479.000, biaya layanan ini tergolong tinggi untuk daya beli mayoritas rumah tangga Indonesia. Banyak masyarakat pedesaan yang menjadi target utama justru belum mampu berlangganan.
Selain faktor harga, laporan Opensignal juga mencatat penurunan performa signifikan pada jaringan Starlink di Indonesia sepanjang 2024β2025. Kecepatan unduh rata-rata menurun dari 42 Mbps menjadi 15,8 Mbps, sedangkan kecepatan unggah turun menjadi 5,4 Mbps. Kualitas pengalaman video dan gaming juga menurun, dengan konsistensi jaringan (quality consistency) hanya mencapai 30,9%, lebih rendah dibandingkan jaringan FWA lokal.
Dengan demikian, performa yang tidak stabil ini menimbulkan pertanyaan bagi pelaku pasar, apakah Starlink benar-benar dapat menjadi solusi jangka panjang bagi pembangunan ekonomi digital di Indonesia? Menurut laporan Opensignal, performa yang menurun berpotensi menekan nilai tambah layanan di pasar yang kompetitif.
Menurut laporan terbaru dari Opensignal, harga yang tinggi dan performa yang fluktuatif telah membuat dampak ekonominya belum optimal. Dalam satu tahun beroperasi, Starlink mencatatkan persebaran pelanggan yang menarik, yakni 60% pengguna berada di wilayah pedesaan, jauh di atas pengguna jaringan kabel tetap dan Fixed Wireless Access (FWA). Namun, tantangan muncul pada aspek adopsi massal. Banyak masyarakat pedesaan yang menjadi target utama justru belum mampu berlangganan.
Harga perangkat Starlink mencapai Rp4,75 jutaβRp9 juta dan tarif bulanan Rp479.000, biaya layanan ini tergolong tinggi untuk daya beli mayoritas rumah tangga Indonesia. Banyak masyarakat pedesaan yang menjadi target utama justru belum mampu berlangganan.
Selain faktor harga, laporan Opensignal juga mencatat penurunan performa signifikan pada jaringan Starlink di Indonesia sepanjang 2024β2025. Kecepatan unduh rata-rata menurun dari 42 Mbps menjadi 15,8 Mbps, sedangkan kecepatan unggah turun menjadi 5,4 Mbps. Kualitas pengalaman video dan gaming juga menurun, dengan konsistensi jaringan (quality consistency) hanya mencapai 30,9%, lebih rendah dibandingkan jaringan FWA lokal.
Dengan demikian, performa yang tidak stabil ini menimbulkan pertanyaan bagi pelaku pasar, apakah Starlink benar-benar dapat menjadi solusi jangka panjang bagi pembangunan ekonomi digital di Indonesia? Menurut laporan Opensignal, performa yang menurun berpotensi menekan nilai tambah layanan di pasar yang kompetitif.