Kapan sengitnya politik di Amerika Serikat! Pada awal tahun 2025, Washington menghadapi kutukan dari berbagai arah. Muncul tiga peristiwa yang menjadi titik tolak utama dan guncangkan dunia.
Pertama, kemenangan Partai Republik dan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih membawa dua ekspektasi utama. Pertama, deregulasi dan pemotongan pajak untuk meningkatkan pertumbuhan domestik. Kedua, kebijakan luar negeri yang lebih konfrontatif dan proteksionis terhadap Amerika Serikat dan negara-negara lain.
Kedua, perang dagang dengan China tetap berlangsung. Tarif signifikan diberlakukan secara bertahap untuk mengubah neraca perdagangan kedua negara. Ini membuat gelombang repatriasi modal di pasar keuangan global. Harga Yen Jepang melonjak tajam dan memicu penjualan obligasi global oleh bank sentral.
Ketiga, pemangkasan suku bunga The Federal Reserve (Fed) menjadi momen yang paling dinanti-nanti oleh pasar keuangan global. Suku bunga dipangkas 125 basis poin, membuat era pengetatan agresif berakhir dan memulai era moneternya.
Keempat, pemerintah China meluncurkan paket stimulus properti terbesar sejak krisis keuangan 2008. Ini memberikan sentimen positif bagi pasar komoditas dan harga batu bara, nikel, dan CPO yang sempat tertekan, kembali menemukan pijakannya.
Kelima, larangan ekspor chip semikonduktor canggih dan mesin litografi ke China dilaksanakan. Ini membuat gelombang repatriasi modal di pasar teknologi global. Namun, ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di bidang perakitan dan pengujian chip.
Keenam, harga emas mencapai rekor tertinggi baru sepanjang masa. Kenaikan ini didorong oleh kombinasi sempurna: pemangkasan suku bunga The Fed, eskalasi konflik Israel-Iran, dan pembelian masif oleh bank-bank sentral.
Kejetak, shutdown pemerintah Amerika Serikat membawa gelombang volatilitas jangka pendek di pasar keuangan global. Namun, secara ironis, peristiwa ini seringkali justru meningkatkan permintaan terhadap obligasi pemerintah AS sebagai aset paling aman.
Terakhir, eskalasi konflik Israel-Iran membuat harga minyak mentah Brent melonjak di atas US$100 per barel. Pasar saham global, termasuk IHSG, mengalami aksi jual masif.
Pertama, kemenangan Partai Republik dan kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih membawa dua ekspektasi utama. Pertama, deregulasi dan pemotongan pajak untuk meningkatkan pertumbuhan domestik. Kedua, kebijakan luar negeri yang lebih konfrontatif dan proteksionis terhadap Amerika Serikat dan negara-negara lain.
Kedua, perang dagang dengan China tetap berlangsung. Tarif signifikan diberlakukan secara bertahap untuk mengubah neraca perdagangan kedua negara. Ini membuat gelombang repatriasi modal di pasar keuangan global. Harga Yen Jepang melonjak tajam dan memicu penjualan obligasi global oleh bank sentral.
Ketiga, pemangkasan suku bunga The Federal Reserve (Fed) menjadi momen yang paling dinanti-nanti oleh pasar keuangan global. Suku bunga dipangkas 125 basis poin, membuat era pengetatan agresif berakhir dan memulai era moneternya.
Keempat, pemerintah China meluncurkan paket stimulus properti terbesar sejak krisis keuangan 2008. Ini memberikan sentimen positif bagi pasar komoditas dan harga batu bara, nikel, dan CPO yang sempat tertekan, kembali menemukan pijakannya.
Kelima, larangan ekspor chip semikonduktor canggih dan mesin litografi ke China dilaksanakan. Ini membuat gelombang repatriasi modal di pasar teknologi global. Namun, ini juga membuka peluang bagi Indonesia untuk menarik investasi di bidang perakitan dan pengujian chip.
Keenam, harga emas mencapai rekor tertinggi baru sepanjang masa. Kenaikan ini didorong oleh kombinasi sempurna: pemangkasan suku bunga The Fed, eskalasi konflik Israel-Iran, dan pembelian masif oleh bank-bank sentral.
Kejetak, shutdown pemerintah Amerika Serikat membawa gelombang volatilitas jangka pendek di pasar keuangan global. Namun, secara ironis, peristiwa ini seringkali justru meningkatkan permintaan terhadap obligasi pemerintah AS sebagai aset paling aman.
Terakhir, eskalasi konflik Israel-Iran membuat harga minyak mentah Brent melonjak di atas US$100 per barel. Pasar saham global, termasuk IHSG, mengalami aksi jual masif.