Indonesia Investment Authority (INA) menetapkan lima sektor strategis untuk fokus investasi pada tahun 2026, yaitu infrastruktur, kesehatan, digital, energi terbarukan, dan material maju. Dalam upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional, INA mengidentifikasi sektor-sektor yang memiliki nilai tambah tinggi dan dampak strategis bagi perekonomian Indonesia.
"Kita melihatnya dari transportasi dan logistik. Itu aja besar banget," kata Ridha Wirakusumah, Dewan Direktur INA. Dia juga menekankan pentingnya teknologi yang lebih maju dalam industri tersebut. Selain itu, INA juga berfokus pada sektor kesehatan, bukan hanya rumah sakit dan farmasi retail, tetapi juga alat kesehatan dan biopharma.
Menurut Ridha, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan teknologi medical device. Namun, hingga saat ini, Indonesia masih tidak memiliki perusahaan yang bisa mengembangkan teknologi tersebut. "Anda tau gak sih berapa jumlah orang cacat Indonesia? Ada 28 juta mungkin terakhir. Itu 10 persen. Tapi untuk bikin kaki palsu aja, harganya dari Rp5 juta sampai Rp1 miliar. Untuk bikin medical device aja kita enggak punya perusahaan," katanya.
Di sektor digital, INA telah membangun data center terbesar di Indonesia yang berlokasi di Batam dengan kapasitas 72 megawatt dan investasi 720 juta dolar AS. Namun, INA berencana untuk menambah kapasitas pusat data di Batam tersebut hingga 500 megawatt agar tidak tertinggal dengan Singapura.
Sementara itu, INA juga tengah mengembangkan proyek solar panel terbesar di Indonesia Timur dengan kapasitas 192 MWp. Selain itu, INA juga berfokus pada pengembangan material maju seperti litium dan silikon yang mencakup pengembangan teknologi capable melalui kemitraan strategis.
"Partner kita berasal dari sovereign wealth fund, dana pensiun, asuransi, asset manager, dan perusahaan strategis yang memang punya teknologi capable," kata Ridha.
"Kita melihatnya dari transportasi dan logistik. Itu aja besar banget," kata Ridha Wirakusumah, Dewan Direktur INA. Dia juga menekankan pentingnya teknologi yang lebih maju dalam industri tersebut. Selain itu, INA juga berfokus pada sektor kesehatan, bukan hanya rumah sakit dan farmasi retail, tetapi juga alat kesehatan dan biopharma.
Menurut Ridha, Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan teknologi medical device. Namun, hingga saat ini, Indonesia masih tidak memiliki perusahaan yang bisa mengembangkan teknologi tersebut. "Anda tau gak sih berapa jumlah orang cacat Indonesia? Ada 28 juta mungkin terakhir. Itu 10 persen. Tapi untuk bikin kaki palsu aja, harganya dari Rp5 juta sampai Rp1 miliar. Untuk bikin medical device aja kita enggak punya perusahaan," katanya.
Di sektor digital, INA telah membangun data center terbesar di Indonesia yang berlokasi di Batam dengan kapasitas 72 megawatt dan investasi 720 juta dolar AS. Namun, INA berencana untuk menambah kapasitas pusat data di Batam tersebut hingga 500 megawatt agar tidak tertinggal dengan Singapura.
Sementara itu, INA juga tengah mengembangkan proyek solar panel terbesar di Indonesia Timur dengan kapasitas 192 MWp. Selain itu, INA juga berfokus pada pengembangan material maju seperti litium dan silikon yang mencakup pengembangan teknologi capable melalui kemitraan strategis.
"Partner kita berasal dari sovereign wealth fund, dana pensiun, asuransi, asset manager, dan perusahaan strategis yang memang punya teknologi capable," kata Ridha.