Dalam satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, permasalahan sistem peradilan hukum pidana masih terus memanas. Menurut peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Iftitah Sari, masalah ini bukanlah hasil kebijakan baru dari pemerintahan Prabowo-Gibran, melainkan kelanjutan dari pemerintahan sebelumnya.
"Isu-soal masalah yang terjadi selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran sebenarnya merupakan kelanjutan dari presiden sebelumnya yakni presiden Jokowi yang tidak diselesaikan," kata Tita, peneliti ICJR. "Kebijakan yang sudah dilakukan belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, misalnya terkait dengan kelebihan kapasitas atau overcrowding di Lapas maupun Rutan."
Saat ini, perubahan ketentuan hukum acara pidana masih banyak menyisakan masalah. Ruang kriminalisasi dan potensi kekerasan masih mungkin terjadi. Menurut Tita, perlu ada pembaruan pengaturan standar pelaksanaan upaya paksa yang objektif dan berorientasi pada perlindungan HAM serta keberimbangan dalam proses peradilan pidana antara negara dengan warga negara.
"Kita masih melihat Pasal-pasal bermasalah dalam KUHAP itu yang akan digunakan APH (aparat penegak hukum) untuk menjadikan ruang-ruang korupsi, menjadikan ruang transaksional. Kita melihat juga masih akan ada peluang kekerasan, itu juga bisa dilakukan, khususnya dalam proses penangkapan dan penahanan," ungkap dia.
ICJR tergabung ke dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Koalisi ini memiliki draf tandingan RUU KUHAP lantaran draf RUU KUHAP yang tengah dibahas pemerintah dan DPR belum mengakomodasi 9 tuntutan krusial.
Sembilan materi dimaksud meliputi kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel serta mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersediaan forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat.
"Isu-soal masalah yang terjadi selama satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran sebenarnya merupakan kelanjutan dari presiden sebelumnya yakni presiden Jokowi yang tidak diselesaikan," kata Tita, peneliti ICJR. "Kebijakan yang sudah dilakukan belum mampu menyelesaikan permasalahan yang ada, misalnya terkait dengan kelebihan kapasitas atau overcrowding di Lapas maupun Rutan."
Saat ini, perubahan ketentuan hukum acara pidana masih banyak menyisakan masalah. Ruang kriminalisasi dan potensi kekerasan masih mungkin terjadi. Menurut Tita, perlu ada pembaruan pengaturan standar pelaksanaan upaya paksa yang objektif dan berorientasi pada perlindungan HAM serta keberimbangan dalam proses peradilan pidana antara negara dengan warga negara.
"Kita masih melihat Pasal-pasal bermasalah dalam KUHAP itu yang akan digunakan APH (aparat penegak hukum) untuk menjadikan ruang-ruang korupsi, menjadikan ruang transaksional. Kita melihat juga masih akan ada peluang kekerasan, itu juga bisa dilakukan, khususnya dalam proses penangkapan dan penahanan," ungkap dia.
ICJR tergabung ke dalam Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan KUHAP. Koalisi ini memiliki draf tandingan RUU KUHAP lantaran draf RUU KUHAP yang tengah dibahas pemerintah dan DPR belum mengakomodasi 9 tuntutan krusial.
Sembilan materi dimaksud meliputi kejelasan tindak lanjut laporan tindak pidana dari masyarakat secara akuntabel serta mekanisme pengawasan oleh pengadilan (judicial scrutiny) dan ketersediaan forum komplain untuk pelanggaran prosedur penegakan hukum oleh aparat.