Dugaan Kartel Suku Bunga Pindar yang Melanggar Hukum?
Guru Besar USU Profesor Ningrum Natasya Sirait menyoroti bahwa dugaan kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) penyelenggara pinjaman daring (Pindar) yang sedang sidang di KPPU, memang tidak tepat. Menurutnya, ketika pelaku usaha mematuhi arahan regulator untuk melindungi konsumen, motivasinya bukan lagi sekedar mengejar keuntungan, tetapi kepatuhan untuk melindungi konsumen.
Logika hukum membedakan antara pelanggaran hukum dan kepatuhan terhadap hukum. Dalam konteks Pindar, yang Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) lakukan merupakan arahan regulator untuk melindungi konsumen, bukan hasil kolusi bisnis.
Menurut Ningrum, KPPU tampaknya mengabaikan konteks regulatory compliance. Dalam berbagai yurisdiksi, tindakan yang dilakukan untuk mematuhi arahan regulator diakui sebagai pembelaan sah terhadap tuduhan pelanggaran persaingan. Doktrin ini dikenal dengan istilah regulatory defense atau state action doctrine.
Kasus ini menjadi perhatian karena pelaku usaha yang patuh terhadap arahan regulator demi melindungi konsumen justru menghadapi pemeriksaan hukum. Untuk itu, Ningrum menyarankan KPPU untuk memperhitungkan motif kepatuhan dan tujuan melindungi konsumen, agar tidak menimbulkan preseden hukum yang keliru bagi industri pindar dan juga memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha lainnya.
Dengan demikian, Ningrum berharap dapat menghindari biaya dan konsekuensi termahal dari dampak perkara ini, yaitu menurunnya kepercayaan terhadap kepastian berusaha bagi para investor dan pelaku usaha di masa depan, khususnya dalam bisnis pindar.
Guru Besar USU Profesor Ningrum Natasya Sirait menyoroti bahwa dugaan kesepakatan penetapan batas maksimum manfaat ekonomi (suku bunga) penyelenggara pinjaman daring (Pindar) yang sedang sidang di KPPU, memang tidak tepat. Menurutnya, ketika pelaku usaha mematuhi arahan regulator untuk melindungi konsumen, motivasinya bukan lagi sekedar mengejar keuntungan, tetapi kepatuhan untuk melindungi konsumen.
Logika hukum membedakan antara pelanggaran hukum dan kepatuhan terhadap hukum. Dalam konteks Pindar, yang Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) lakukan merupakan arahan regulator untuk melindungi konsumen, bukan hasil kolusi bisnis.
Menurut Ningrum, KPPU tampaknya mengabaikan konteks regulatory compliance. Dalam berbagai yurisdiksi, tindakan yang dilakukan untuk mematuhi arahan regulator diakui sebagai pembelaan sah terhadap tuduhan pelanggaran persaingan. Doktrin ini dikenal dengan istilah regulatory defense atau state action doctrine.
Kasus ini menjadi perhatian karena pelaku usaha yang patuh terhadap arahan regulator demi melindungi konsumen justru menghadapi pemeriksaan hukum. Untuk itu, Ningrum menyarankan KPPU untuk memperhitungkan motif kepatuhan dan tujuan melindungi konsumen, agar tidak menimbulkan preseden hukum yang keliru bagi industri pindar dan juga memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha lainnya.
Dengan demikian, Ningrum berharap dapat menghindari biaya dan konsekuensi termahal dari dampak perkara ini, yaitu menurunnya kepercayaan terhadap kepastian berusaha bagi para investor dan pelaku usaha di masa depan, khususnya dalam bisnis pindar.