Penggunaan MBG Tidak Selalu Berdasarkan Indra Penciuman Hanya Tidak Akan Membatasi Kinerja Guru di Lapangan
Sebuah kebijakan yang memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi hidangan Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya melalui indra penciuman hingga tidak akan membatasi kinerja guru di lapangan. Hal ini dilontarkan oleh Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) Universitas Gadjah Mada, Sri Raharjo.
Menurut Sri Raharjo, penggunaan MBG harus lebih matang untuk mengantisipasi terjadinya kasus keracunan di lapangan sekolah. Guru yang bertugas menyajikan makanan ini tidak hanya akan diberi tugas untuk memeriksa kualitas makanan saja, tetapi juga perlu memantau proses pengolahan dan penyajiannya hingga saat makanan dikonsumsi oleh siswa.
"Kita tidak boleh hanya asumsikan bahwa karena aroma yang tidak enak, itu pasti keracunan," ujarnya. "Jika kita masih terlalu bergantung pada indra penciuman manusia saja, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengantisipasi berbagai potensi bahaya dari makanan."
Berdasarkan data, lauk pauk adalah salah satu menu yang paling berpotensi memicu keracunan. Pengolahannya memerlukan waktu dan panas yang cukup untuk mematikan bakteri pada bahan mentah. Namun, kekurangan waktu, alat, serta sumber daya manusia (SDM) dari pihak penyedia MBG dapat menghambat proses ini.
"Saya ingin menyarankan agar kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) diperhitungkan kembali," ucapnya. "Jika kita tidak bisa memenuhi target yang telah ditetapkan, maka kontrol terhadap makanan tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan."
Sebuah kebijakan yang memungkinkan siswa untuk mengidentifikasi hidangan Makan Bergizi Gratis (MBG) hanya melalui indra penciuman hingga tidak akan membatasi kinerja guru di lapangan. Hal ini dilontarkan oleh Kepala Pusat Studi Pangan dan Gizi (PSPG) Universitas Gadjah Mada, Sri Raharjo.
Menurut Sri Raharjo, penggunaan MBG harus lebih matang untuk mengantisipasi terjadinya kasus keracunan di lapangan sekolah. Guru yang bertugas menyajikan makanan ini tidak hanya akan diberi tugas untuk memeriksa kualitas makanan saja, tetapi juga perlu memantau proses pengolahan dan penyajiannya hingga saat makanan dikonsumsi oleh siswa.
"Kita tidak boleh hanya asumsikan bahwa karena aroma yang tidak enak, itu pasti keracunan," ujarnya. "Jika kita masih terlalu bergantung pada indra penciuman manusia saja, kita akan kehilangan kesempatan untuk mengantisipasi berbagai potensi bahaya dari makanan."
Berdasarkan data, lauk pauk adalah salah satu menu yang paling berpotensi memicu keracunan. Pengolahannya memerlukan waktu dan panas yang cukup untuk mematikan bakteri pada bahan mentah. Namun, kekurangan waktu, alat, serta sumber daya manusia (SDM) dari pihak penyedia MBG dapat menghambat proses ini.
"Saya ingin menyarankan agar kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) diperhitungkan kembali," ucapnya. "Jika kita tidak bisa memenuhi target yang telah ditetapkan, maka kontrol terhadap makanan tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan."