Siswa UGM Menghadapi Risiko Keracunan Makanan Secara Tidak Terduga
Di Universitas Gadjah Mada, mahasiswanya telah menjadi korban dari risiko keracunan makanan yang tidak terduga. Meskipun pemerintah telah menetapkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk meningkatkan kualitas hidup siswa, masih banyak hal yang perlu diperhatikan.
Menurut Sri Raharjo, seorang guru besar di Fakultas Teknologi Pertanian UGM, identifikasi hidangan MBG yang tidak layak konsumsi harus dilakukan dengan lebih teliti. Ia menekankan bahwa siswa hanya dapat mengenali beracun atau tidaknya pangan dengan menggunakan indra penciuman lewat hidung dan visual hingga tekstur makanan saja.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar siswa tidak terkena keracunan. Salah satunya adalah proses pengolahan hingga pengemasan makanan yang harus dilakukan dengan hati-hati. Ia juga menekankan pentingnya memeriksa waktu pengolahan dan penyajian makanan untuk mengantisipasi kasus keracunan.
Laut, Sri Raharjo melihat bahwa lauk pauk memiliki potensi besar memicu keracunan karena perlu waktu dan pemanasan yang cukup untuk mematikan atau mengurangi bakteri pada bahan mentah. Oleh karenanya, ia menyarankan agar kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) diperhitungkan kembali.
Target pemerintah untuk setiap SPPG memenuhi sekitar tiga ribu pack MBG terlihat melebihi kapasitas satu dapur umum. Alhasil, kontrol terhadap makanan tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
Sri Raharjo menekankan bahwa identifikasi hidangan MBG yang tidak layak konsumsi harus dilakukan dengan lebih teliti dan proses pengolahan hingga pengemasan makanan harus dilakukan dengan hati-hati. Dengan demikian, siswa dapat melindungi diri dari risiko keracunan makanan secara tidak terduga.
Di Universitas Gadjah Mada, mahasiswanya telah menjadi korban dari risiko keracunan makanan yang tidak terduga. Meskipun pemerintah telah menetapkan program Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk meningkatkan kualitas hidup siswa, masih banyak hal yang perlu diperhatikan.
Menurut Sri Raharjo, seorang guru besar di Fakultas Teknologi Pertanian UGM, identifikasi hidangan MBG yang tidak layak konsumsi harus dilakukan dengan lebih teliti. Ia menekankan bahwa siswa hanya dapat mengenali beracun atau tidaknya pangan dengan menggunakan indra penciuman lewat hidung dan visual hingga tekstur makanan saja.
Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan agar siswa tidak terkena keracunan. Salah satunya adalah proses pengolahan hingga pengemasan makanan yang harus dilakukan dengan hati-hati. Ia juga menekankan pentingnya memeriksa waktu pengolahan dan penyajian makanan untuk mengantisipasi kasus keracunan.
Laut, Sri Raharjo melihat bahwa lauk pauk memiliki potensi besar memicu keracunan karena perlu waktu dan pemanasan yang cukup untuk mematikan atau mengurangi bakteri pada bahan mentah. Oleh karenanya, ia menyarankan agar kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) diperhitungkan kembali.
Target pemerintah untuk setiap SPPG memenuhi sekitar tiga ribu pack MBG terlihat melebihi kapasitas satu dapur umum. Alhasil, kontrol terhadap makanan tidak sepenuhnya sesuai dengan aturan yang ditetapkan.
Sri Raharjo menekankan bahwa identifikasi hidangan MBG yang tidak layak konsumsi harus dilakukan dengan lebih teliti dan proses pengolahan hingga pengemasan makanan harus dilakukan dengan hati-hati. Dengan demikian, siswa dapat melindungi diri dari risiko keracunan makanan secara tidak terduga.