"Keracunan Makanan di MBG: Guru Besar UGM Eksprimasi Kekhawatiran tentang Proses Pengolahan dan Penyediaan Menu"
Dalam upaya mencegah keracunan makanan di sekolah, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Raharjo, menekankan pentingnya proses pengolahan dan penyediaan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang aman. Menurut Sri Raharjo, tidak hanya cukup mengandalkan indra penciuman lewat hidung untuk mengidentifikasi pangan beracun, melainkan juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti visual dan tekstur makanan.
"Saat ini, kita masih bergantung pada indra penciuman sebagai perlindungan pertama. Namun, aroma, rasa, dan tekstur makanan normal secara visual tidak cukup untuk mendeteksi potensi bahaya," kata Sri Raharjo. "Bakteri yang merusak dapat menyebabkan keracunan, tetapi kadang-kadang penyakit tersebut tidak terdeteksi karena bakteri ini tidak menyebabkan gejala saat masih dalam bentuk patogen."
Menurut Sri Raharjo, proses pengolahan makanan juga sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kasus keracunan. "Pengolahan hingga pengemasan makanan harus dilakukan dengan hati-hati, serta perlu diperhatikan waktu pengolahan dan penyediaan menu di lapangan," ujar Sri Raharjo.
Salah satu menu yang memiliki potensi besar memicu keracunan adalah lauk pauk. "Pengolahannya perlu waktu dan pemanasan yang cukup untuk mematikan bakteri pada bahan mentah," kata Sri Raharjo. "Namun, berbarengan dengan itu ada keterbatasan waktu, alat, dan Sumber Daya Manusia (SDM) dari pihak penyedia MBG."
Oleh karena itu, Sri Raharjo menyarankan agar kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) diperhitungkan kembali. "Target pemerintah untuk setiap SPPG memenuhi sekitar tiga ribu pack MBG terlihat melebihi kapasitas satu dapur umum," ujar Sri Raharjo.
Dalam upaya mencegah keracunan makanan di sekolah, guru besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Raharjo, menekankan pentingnya proses pengolahan dan penyediaan menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang aman. Menurut Sri Raharjo, tidak hanya cukup mengandalkan indra penciuman lewat hidung untuk mengidentifikasi pangan beracun, melainkan juga perlu mempertimbangkan faktor-faktor lain seperti visual dan tekstur makanan.
"Saat ini, kita masih bergantung pada indra penciuman sebagai perlindungan pertama. Namun, aroma, rasa, dan tekstur makanan normal secara visual tidak cukup untuk mendeteksi potensi bahaya," kata Sri Raharjo. "Bakteri yang merusak dapat menyebabkan keracunan, tetapi kadang-kadang penyakit tersebut tidak terdeteksi karena bakteri ini tidak menyebabkan gejala saat masih dalam bentuk patogen."
Menurut Sri Raharjo, proses pengolahan makanan juga sangat penting untuk mengantisipasi terjadinya kasus keracunan. "Pengolahan hingga pengemasan makanan harus dilakukan dengan hati-hati, serta perlu diperhatikan waktu pengolahan dan penyediaan menu di lapangan," ujar Sri Raharjo.
Salah satu menu yang memiliki potensi besar memicu keracunan adalah lauk pauk. "Pengolahannya perlu waktu dan pemanasan yang cukup untuk mematikan bakteri pada bahan mentah," kata Sri Raharjo. "Namun, berbarengan dengan itu ada keterbatasan waktu, alat, dan Sumber Daya Manusia (SDM) dari pihak penyedia MBG."
Oleh karena itu, Sri Raharjo menyarankan agar kapasitas dari setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) diperhitungkan kembali. "Target pemerintah untuk setiap SPPG memenuhi sekitar tiga ribu pack MBG terlihat melebihi kapasitas satu dapur umum," ujar Sri Raharjo.