"Identifikasi Makanan yang Tak Layak: Guru Besar UGM Berbicara tentang Tantangan dalam Pengelolaan MBG"
Pada ulang tahunnya ke-15, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Universitas Gadjah Mada (UGM) menghadapi tantangan dalam pengelolaan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyebabkan terjadinya keracunan pangan. Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sri Raharjo, menilai bahwa identifikasi makanan yang tak layak konsumsi tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan indra penciuman lewat hidung.
"Indra penciuman manusia hanya dapat digunakan sebagai perlindungan pertama," katanya. "Namun, potensi bahaya tidak dapat terdeteksi karena aroma, rasa, dan tekstur makanan normal secara visual."
Sri Raharjo menambahkan bahwa bakteri yang menyebabkan keracunan pangan bisa 'tersembunyi' pada bahan baku yang telah terkontaminasi patogen atau bakteri. "Bakteri yang merusak membusukkan makanan, dia tidak menyebabkan sakit dan dapat dimatikan dengan panas," katanya.
Lanjutnya, Sri Raharjo mengungkapkan bahwa reaksi keracunan dari setiap kasus pun berbeda-beda. "Tidak semua bereaksi langsung alias bisa muncul kapan saja dan belum tentu dalam bentuk muntahan."
Ia juga menyarankan atensi khusus terhadap proses pengolahan hingga pengemasan makanan demi mengantisipasi terjadinya kasus keracunan. Selain itu, perlu diperhatikan waktu pengolahan hingga makanan dikonsumsi siswa.
"Perlu dirunut satu per satu dari isi food tray atau ompreng," kata Sri Raharjo. "Dalam satu tray makanan yang macam-macam itu, kira-kira yang berkontribusi pada keracunan tadi itu di mana? Nasi, lauk, atau sayuranya?"
Sri Raharjo melihat salah satu menu di MBG yang memiliki potensi besar memicu keracunan adalah lauk pauk. Pengolahannya perlu waktu dan pemanasan yang cukup agar dapat mematikan atau mengurangi bakteri pada bahan mentah.
"Terpenting, pada pengadaan bahan mentahnya, usahakan memang kondisinya bersih cemarannya dan belum tinggi," kata Sri Raharjo.
Pada ulang tahunnya ke-15, Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Universitas Gadjah Mada (UGM) menghadapi tantangan dalam pengelolaan Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menyebabkan terjadinya keracunan pangan. Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian UGM, Sri Raharjo, menilai bahwa identifikasi makanan yang tak layak konsumsi tidak dapat dilakukan hanya dengan mengandalkan indra penciuman lewat hidung.
"Indra penciuman manusia hanya dapat digunakan sebagai perlindungan pertama," katanya. "Namun, potensi bahaya tidak dapat terdeteksi karena aroma, rasa, dan tekstur makanan normal secara visual."
Sri Raharjo menambahkan bahwa bakteri yang menyebabkan keracunan pangan bisa 'tersembunyi' pada bahan baku yang telah terkontaminasi patogen atau bakteri. "Bakteri yang merusak membusukkan makanan, dia tidak menyebabkan sakit dan dapat dimatikan dengan panas," katanya.
Lanjutnya, Sri Raharjo mengungkapkan bahwa reaksi keracunan dari setiap kasus pun berbeda-beda. "Tidak semua bereaksi langsung alias bisa muncul kapan saja dan belum tentu dalam bentuk muntahan."
Ia juga menyarankan atensi khusus terhadap proses pengolahan hingga pengemasan makanan demi mengantisipasi terjadinya kasus keracunan. Selain itu, perlu diperhatikan waktu pengolahan hingga makanan dikonsumsi siswa.
"Perlu dirunut satu per satu dari isi food tray atau ompreng," kata Sri Raharjo. "Dalam satu tray makanan yang macam-macam itu, kira-kira yang berkontribusi pada keracunan tadi itu di mana? Nasi, lauk, atau sayuranya?"
Sri Raharjo melihat salah satu menu di MBG yang memiliki potensi besar memicu keracunan adalah lauk pauk. Pengolahannya perlu waktu dan pemanasan yang cukup agar dapat mematikan atau mengurangi bakteri pada bahan mentah.
"Terpenting, pada pengadaan bahan mentahnya, usahakan memang kondisinya bersih cemarannya dan belum tinggi," kata Sri Raharjo.