DPR terus menjadi target gugatan dari rakyat. Limbang itu datang dari tuntutan lima mahasiswa ke Mahkamah Konstitusi agar anggota DPR bisa dipecat dengan mudah. Apalagi jika sudah dipilih oleh rakyat, namun perlu diingat bahwa statusnya telah terikat dalam UU MD3.
"Jadi, mekanisme ini bukan masalah bisa atau tidak. Walaupun itu memang satu dinamika yang harus terus dibangun ketika ada hal yang menurut pikiran dan perasaan umum rakyat Indonesia ketika ada ganjalannya bisa mengajukan gugatan judicial review," kata Bob Hasan, Ketua Baleg Gerindra.
Tapi, apa arti dari itu? Kalau kita memandang dengan matang, itu berarti gugatan itu dapat dilakukan oleh masyarakat dan diatur dalam UU MD3. Namun, ada perbedaan antara mekanisme pemecatan anggota DPR yang diatur di UU dan yang diatur di Mahkamah Konstitusi.
Golongan Partai Golkar mengatakan bahwa mekanisme itu bukan ranah dari MK, melainkan diatur dalam UU MD3. Mereka berpendapat bahwa mekanisme ini adalah open legal policy alias kewenangan pembentuk undang-undang.
"Maka, kalau saya masuk ke open legal policy. Yang bukan ranah Mahkamah Konstitusi. Saya berpendapat pribadi ya begitu," kata Soedeson Tandra, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Dalam pengemudi ini, para pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno. Menurut dia, anggota DPR adalah tugas yang diberikan partai politik. Oleh karena itu, meski dipilih rakyat, DPR juga merupakan perwakilan dari partai politik.
"Jadi, saya dengan teman-teman lain yang ada di DPR, itu kita merupakan perwakilan partai politik," kata Eddy.
Tapi apa itu "kewenangan pembentuk undang-undang"? Apakah itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945?
Bisa dilakukan pemecatan anggota DPR?
"Jadi, mekanisme ini bukan masalah bisa atau tidak. Walaupun itu memang satu dinamika yang harus terus dibangun ketika ada hal yang menurut pikiran dan perasaan umum rakyat Indonesia ketika ada ganjalannya bisa mengajukan gugatan judicial review," kata Bob Hasan, Ketua Baleg Gerindra.
Tapi, apa arti dari itu? Kalau kita memandang dengan matang, itu berarti gugatan itu dapat dilakukan oleh masyarakat dan diatur dalam UU MD3. Namun, ada perbedaan antara mekanisme pemecatan anggota DPR yang diatur di UU dan yang diatur di Mahkamah Konstitusi.
Golongan Partai Golkar mengatakan bahwa mekanisme itu bukan ranah dari MK, melainkan diatur dalam UU MD3. Mereka berpendapat bahwa mekanisme ini adalah open legal policy alias kewenangan pembentuk undang-undang.
"Maka, kalau saya masuk ke open legal policy. Yang bukan ranah Mahkamah Konstitusi. Saya berpendapat pribadi ya begitu," kata Soedeson Tandra, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Golkar.
Dalam pengemudi ini, para pemohon meminta Mahkamah untuk menafsirkan Pasal 239 ayat (2) huruf d UU MD3 menjadi "diusulkan oleh partai politiknya dan/atau konstituen di daerah pemilihannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan."
Hal serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua MPR dari Fraksi PAN, Eddy Soeparno. Menurut dia, anggota DPR adalah tugas yang diberikan partai politik. Oleh karena itu, meski dipilih rakyat, DPR juga merupakan perwakilan dari partai politik.
"Jadi, saya dengan teman-teman lain yang ada di DPR, itu kita merupakan perwakilan partai politik," kata Eddy.
Tapi apa itu "kewenangan pembentuk undang-undang"? Apakah itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945?
Bisa dilakukan pemecatan anggota DPR?