Soeharto diberi gelar pahlawan nasional, bukan sebagai simbol kebebasan, tapi membahayakan demokrasi Indonesia, kata direktur eksekutif PVRI.
Kajian demokrasi dan kebajikan publik Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai bahwa rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto adalah ciptaan otoritarianisme ala Orde Baru. Langkah ini ditujukan untuk memutihkan sejarah kelam masa lalu dan memperkuat militerisme dalam ruang politik Indonesia.
Direktur eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq mengatakan bahwa kebijakan itu tidak bisa dilepaskan dari fenomena meningkatnya kontrol militer dan pembungkaman suara kritis di ruang publik. Indonesia sedang mengalami kemunduran serius dalam demokrasi akibat pengaruh kekuasaan yang semakin terkonsentrasi pada kelompok elit.
Demokrasi kita terus mengalami erosi, kata Naziful. Ruang publik dan oposisi melemah dengan lahirnya aliansi ormas agama dan oligarki. Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Ia menilai figur yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang memperjuangkan demokrasi, bukan yang justru menjadi simbol pengekangan kebebasan. Makna demokrasi dalam sejarah Indonesia sebenarnya ada di pemikirannya orang-orang, kata Naziful.
Sementara itu, PVRI juga menyoroti bahwa dominasi unsur militer dan elite agama dalam daftar nominasi pahlawan nasional tahun ini. Soeharto bukan nominasi yang tepat. Ia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan.
PVRI menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto hanya akan mempercepat kemunduran demokrasi Indonesia. Ancaman terhadap demokrasi semakin nyata dengan meluasnya peranan militer di pemerintahan sipil, dan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto hanya mempertegas arah kemunduran itu.
Sementara itu, Peneliti PVRI Alva Maldini menambahkan bahwa masuknya nama-nama seperti Marsinah dan Gus Dur dalam daftar nominasi sejatinya bisa menjadi representasi dari nilai-nilai demokrasi dan perjuangan rakyat. Namun, ketika dua nama itu disandingkan dengan Soeharto, maknanya justru menjadi paradoks.
Kajian demokrasi dan kebajikan publik Public Virtue Research Institute (PVRI) menilai bahwa rencana pemberian gelar pahlawan nasional kepada Presiden Soeharto adalah ciptaan otoritarianisme ala Orde Baru. Langkah ini ditujukan untuk memutihkan sejarah kelam masa lalu dan memperkuat militerisme dalam ruang politik Indonesia.
Direktur eksekutif PVRI, Muhammad Naziful Haq mengatakan bahwa kebijakan itu tidak bisa dilepaskan dari fenomena meningkatnya kontrol militer dan pembungkaman suara kritis di ruang publik. Indonesia sedang mengalami kemunduran serius dalam demokrasi akibat pengaruh kekuasaan yang semakin terkonsentrasi pada kelompok elit.
Demokrasi kita terus mengalami erosi, kata Naziful. Ruang publik dan oposisi melemah dengan lahirnya aliansi ormas agama dan oligarki. Pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan langkah yang bertentangan dengan semangat reformasi.
Ia menilai figur yang layak disebut pahlawan adalah mereka yang memperjuangkan demokrasi, bukan yang justru menjadi simbol pengekangan kebebasan. Makna demokrasi dalam sejarah Indonesia sebenarnya ada di pemikirannya orang-orang, kata Naziful.
Sementara itu, PVRI juga menyoroti bahwa dominasi unsur militer dan elite agama dalam daftar nominasi pahlawan nasional tahun ini. Soeharto bukan nominasi yang tepat. Ia adalah bagian dari otoritarianisme masa lalu yang mengkhianati cita-cita kemerdekaan.
PVRI menilai bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto hanya akan mempercepat kemunduran demokrasi Indonesia. Ancaman terhadap demokrasi semakin nyata dengan meluasnya peranan militer di pemerintahan sipil, dan pemberian gelar pahlawan nasional kepada Soeharto hanya mempertegas arah kemunduran itu.
Sementara itu, Peneliti PVRI Alva Maldini menambahkan bahwa masuknya nama-nama seperti Marsinah dan Gus Dur dalam daftar nominasi sejatinya bisa menjadi representasi dari nilai-nilai demokrasi dan perjuangan rakyat. Namun, ketika dua nama itu disandingkan dengan Soeharto, maknanya justru menjadi paradoks.