Gas bumi masih menjadi fondasi utama dalam meneruskan transisi energi di Indonesia. Meski ekosistem gas tetap berkembang, ada dua tantangan pokok yang harus ditangani: kepastian pasokan dan kesiapan infrastruktur untuk mengalirkan gas dari sumber menuju pembangkit listrik.
Menurut Erma Melina Sarahwati, Direktur Gas dan BBM PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), gas bumi memainkan peran penting sebagai bridging fuel dalam upaya mencapai target emisi nol bersih. "Gas merupakan energi fosil paling bersih sehingga tetap dibutuhkan sebagai penyangga fleksibilitas sistem ketenagalistrikan," katanya.
Di RUPTL 2025-2034, ditetapkan tambahan pembangkit 69,5 GW hingga 2034, dengan lebih dari 75 persen berbasis energi terbarukan. Namun, gas tetap disiapkan sebesar 10,3 GW sebagai pengaman sistem, karena sifat intermiten energi surya dan angin, serta pengembangan pembangkit geothermal dan hidro memerlukan waktu.
Kebutuhan gas PLN meningkat rata-rata 5,3 persen per tahun. Pada 2025 kebutuhan mencapai 1.600 BBTUD, dan melonjak menjadi 2.600 BBTUD pada 2034, dipicu program konversi pembangkit BBM ke gas.
Menurut Erma, penurunan alamiah produksi gas pipa membuat PLN semakin bergantung pada pasokan LNG, termasuk kontrak LNG Tangguh sekitar 60-62 kargo per tahun yang akan berakhir bertahap hingga 2034. Oleh karena itu, diperlukan tambahan pasokan gas dari penemuan cadangan baru, pengalihan ke domestik dari kontrak ekspor, maupun perpanjangan kontrak eksisting untuk mengisi gap kebutuhan.
Disparitas antara lokasi cadangan dan pusat permintaan menjadi faktor krusial. Cadangan terbesar berada di Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Papua, dan Kalimantan, sedangkan pusat beban berada di Jawa dan Sumatera. Untuk menjembatani ini, Indonesia memiliki jaringan pipa dan berbagai FSRU seperti Lampung, Arun, Nusantara Regas, Bali, dan Gorontalo, dengan total kapasitas penyimpanan sekitar 700 ribu meter kubik dan kemampuan regasifikasi 1,4 juta kaki kubik per hari.
Dalam meneruskan transisi energi, gas bumi tetap menjadi fondasi utama. Oleh karena itu, kepastian pasokan dan kesiapan infrastruktur menjadi tantangan pokok yang harus ditangani.
Menurut Erma Melina Sarahwati, Direktur Gas dan BBM PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI), gas bumi memainkan peran penting sebagai bridging fuel dalam upaya mencapai target emisi nol bersih. "Gas merupakan energi fosil paling bersih sehingga tetap dibutuhkan sebagai penyangga fleksibilitas sistem ketenagalistrikan," katanya.
Di RUPTL 2025-2034, ditetapkan tambahan pembangkit 69,5 GW hingga 2034, dengan lebih dari 75 persen berbasis energi terbarukan. Namun, gas tetap disiapkan sebesar 10,3 GW sebagai pengaman sistem, karena sifat intermiten energi surya dan angin, serta pengembangan pembangkit geothermal dan hidro memerlukan waktu.
Kebutuhan gas PLN meningkat rata-rata 5,3 persen per tahun. Pada 2025 kebutuhan mencapai 1.600 BBTUD, dan melonjak menjadi 2.600 BBTUD pada 2034, dipicu program konversi pembangkit BBM ke gas.
Menurut Erma, penurunan alamiah produksi gas pipa membuat PLN semakin bergantung pada pasokan LNG, termasuk kontrak LNG Tangguh sekitar 60-62 kargo per tahun yang akan berakhir bertahap hingga 2034. Oleh karena itu, diperlukan tambahan pasokan gas dari penemuan cadangan baru, pengalihan ke domestik dari kontrak ekspor, maupun perpanjangan kontrak eksisting untuk mengisi gap kebutuhan.
Disparitas antara lokasi cadangan dan pusat permintaan menjadi faktor krusial. Cadangan terbesar berada di Indonesia bagian timur, seperti Maluku, Papua, dan Kalimantan, sedangkan pusat beban berada di Jawa dan Sumatera. Untuk menjembatani ini, Indonesia memiliki jaringan pipa dan berbagai FSRU seperti Lampung, Arun, Nusantara Regas, Bali, dan Gorontalo, dengan total kapasitas penyimpanan sekitar 700 ribu meter kubik dan kemampuan regasifikasi 1,4 juta kaki kubik per hari.
Dalam meneruskan transisi energi, gas bumi tetap menjadi fondasi utama. Oleh karena itu, kepastian pasokan dan kesiapan infrastruktur menjadi tantangan pokok yang harus ditangani.