Kepala Dinas Kebudayaan Jakarta, Iwan Henry Wardhana, dituduh melakukan korupsi dengan serangkaian tindakan fiktif untuk mempengaruhi hasil kegiatan budaya dan seni di Jakarta. Jaksa menyatakan bahwa Iwan melibatkan dua terdakwa lainnya dalam kerjasama korupsi, yaitu Mohamad Fairza Maulana sebagai Plt Kepala Bidang Pemanfaatan dan Gatot Arif Rahmadi sebagai pemilik Event Organizer (EO) Gerai Production (GR PRO).
Kasus ini melibatkan pembuatan surat pertanggungjawaban fiktif (SPJ) untuk kegiatan budaya seperti PSBB Komunitas, PKT, dan Jakarnaval. Iwan didakwa melakukan korupsi dengan menipu pemerintah tentang pengeluaran dan pendapatan dari kegiatan tersebut.
Jaksa menyatakan bahwa Iwan dan terdakwanya merekayasa bukti-bukti pertanggungjawaban pengelolaan anggaran yang melebihi dari pengeluaran sebenarnya. Mereka juga membuat pembayaran honorarium pelaku seni yang lebih tinggi daripada sebenarnya.
Buktinya, Iwan dan terdakwanya menyusun dokumen palsu seperti daftar hadir, biodata, dan dokumentasi foto kegiatan untuk membuat pemerintah percaya bahwa kegiatan tersebut telah diadakan dengan baik. Mereka juga menggunakan stempel kuitansi tanda terima yang palsu untuk membuat pemerintah percaya bahwa kegiatan tersebut telah selesai.
Jaksa menuduh Iwan dan terdakwanya melakukan korupsi sebesar Rp 16,2 miliar, yang digunakan untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka juga dihadapkan sebagai pelaku utama dalam kasus ini, sementara Mohamad Fairza Maulana dan Gatot Arif Rahmadi dijadikan terdakwa kedua.
Dalam sidang dakwaan, Jaksa meminta hukuman 12 tahun penjara bagi Iwan Henry Wardhana. Sementara itu, Mohamad Fairza Maulana didakwa 7 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 1,44 miliar. Gatot Arif Rahmadi dihadapkan sebagai terdakwa ketiga dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 13,26 miliar.
Dalam kasus ini, Jaksa menyatakan bahwa Iwan dan terdakwanya melakukan korupsi dengan menipu pemerintah tentang pengeluaran dan pendapatan dari kegiatan budaya di Jakarta. Mereka juga menggunakan dokumen palsu untuk membuat pemerintah percaya bahwa kegiatan tersebut telah selesai dengan baik.
Kasus ini menimbulkan perdebatan tentang kemampuan Iwan dalam mengelola kebudayaan di Jakarta dan apakah dia benar-benar berkontribusi pada pengembangan budaya di kota tersebut.
Kasus ini melibatkan pembuatan surat pertanggungjawaban fiktif (SPJ) untuk kegiatan budaya seperti PSBB Komunitas, PKT, dan Jakarnaval. Iwan didakwa melakukan korupsi dengan menipu pemerintah tentang pengeluaran dan pendapatan dari kegiatan tersebut.
Jaksa menyatakan bahwa Iwan dan terdakwanya merekayasa bukti-bukti pertanggungjawaban pengelolaan anggaran yang melebihi dari pengeluaran sebenarnya. Mereka juga membuat pembayaran honorarium pelaku seni yang lebih tinggi daripada sebenarnya.
Buktinya, Iwan dan terdakwanya menyusun dokumen palsu seperti daftar hadir, biodata, dan dokumentasi foto kegiatan untuk membuat pemerintah percaya bahwa kegiatan tersebut telah diadakan dengan baik. Mereka juga menggunakan stempel kuitansi tanda terima yang palsu untuk membuat pemerintah percaya bahwa kegiatan tersebut telah selesai.
Jaksa menuduh Iwan dan terdakwanya melakukan korupsi sebesar Rp 16,2 miliar, yang digunakan untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka juga dihadapkan sebagai pelaku utama dalam kasus ini, sementara Mohamad Fairza Maulana dan Gatot Arif Rahmadi dijadikan terdakwa kedua.
Dalam sidang dakwaan, Jaksa meminta hukuman 12 tahun penjara bagi Iwan Henry Wardhana. Sementara itu, Mohamad Fairza Maulana didakwa 7 tahun penjara dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 1,44 miliar. Gatot Arif Rahmadi dihadapkan sebagai terdakwa ketiga dengan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, serta uang pengganti Rp 13,26 miliar.
Dalam kasus ini, Jaksa menyatakan bahwa Iwan dan terdakwanya melakukan korupsi dengan menipu pemerintah tentang pengeluaran dan pendapatan dari kegiatan budaya di Jakarta. Mereka juga menggunakan dokumen palsu untuk membuat pemerintah percaya bahwa kegiatan tersebut telah selesai dengan baik.
Kasus ini menimbulkan perdebatan tentang kemampuan Iwan dalam mengelola kebudayaan di Jakarta dan apakah dia benar-benar berkontribusi pada pengembangan budaya di kota tersebut.