Mantan hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Djuyamto, mengakui telah menerima uang hasil suap untuk donasi proyek kantor salah satu Majelis Wakil Cabang Nahdlatul Ulama (NU). Alasannya adalah sebagai bentuk penebusan atas kesalahan yang telah diperbuatnya.
Pada persidangan kasus dugaan suap terhadap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang menjeratnya sebagai terdakwa, Djuyamto menjelaskan bahwa ia merasa perlu memberikan sesuatu untuk tanah kelahirannya. Meskipun telah merasa bersalah sejak awal, Djuyamto memutuskan untuk menerima uang hasil suap tersebut.
"Dalam niat saya, tujuan saya seperti itu," kata Djuyamto. "Agar kesalahan saya kemudian tidak menjadi kesalahan yang lebih fatal lagi, maka saya gunakan uang yang saya peroleh dari kesalahan untuk hal-hal yang kemanfaatan sosial."
Djuyamto menegaskan bahwa organisasi NU sama sekali tidak salah karena tak mengetahui sumber dana tersebut. Hal itu, katanya, murni kesalahan yang sudah dia perbuat.
"NU-nya tidak salah, cara saya yang salah. Cara saya berkhidmat, cara saya berbakti, cara saya mengabdi untuk kepentingan sosial dan budaya. Saya mengakui salah," kata Djuyamto.
Dalam perkara ini, terdakwa adalah mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan sekaligus mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta; mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan; serta tiga hakim yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.
Pada persidangan kasus dugaan suap terhadap putusan lepas perkara korupsi pemberian fasilitas ekspor minyak sawit mentah (CPO) yang menjeratnya sebagai terdakwa, Djuyamto menjelaskan bahwa ia merasa perlu memberikan sesuatu untuk tanah kelahirannya. Meskipun telah merasa bersalah sejak awal, Djuyamto memutuskan untuk menerima uang hasil suap tersebut.
"Dalam niat saya, tujuan saya seperti itu," kata Djuyamto. "Agar kesalahan saya kemudian tidak menjadi kesalahan yang lebih fatal lagi, maka saya gunakan uang yang saya peroleh dari kesalahan untuk hal-hal yang kemanfaatan sosial."
Djuyamto menegaskan bahwa organisasi NU sama sekali tidak salah karena tak mengetahui sumber dana tersebut. Hal itu, katanya, murni kesalahan yang sudah dia perbuat.
"NU-nya tidak salah, cara saya yang salah. Cara saya berkhidmat, cara saya berbakti, cara saya mengabdi untuk kepentingan sosial dan budaya. Saya mengakui salah," kata Djuyamto.
Dalam perkara ini, terdakwa adalah mantan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan sekaligus mantan Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, Muhammad Arif Nuryanta; mantan panitera muda perdata PN Jakarta Utara, Wahyu Gunawan; serta tiga hakim yakni Djuyamto, Agam Syarief Baharudin, dan Ali Muhtarom.