Pemerintahan Prabowo Subianto tengah mengalami ekspansi militerisasi dan resentralisasi negara, menurut laporan Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS). Menurut Nicky Fahrizal, peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, pemerintah telah mengesahkan 6 Kodam baru hingga Agustus 2025, dan akan dibentuk 5 Kodam tambahan di tahun 2026.
Ekspansi ini meliputi pembangunan struktur militer yang lebih luas, seperti penambahan perwira tinggi dari 371 menjadi 420 orang. Selain itu, pemerintah juga membentuk enam grup Kopassus baru yang tersebar di Banten, Surakarta, Riau, IKN, Kendari, dan Timika (Papua Tengah).
Fenomena ini menandai semakin kuatnya keterlibatan militer dalam ranah sipil, mulai dari ketahanan pangan, pembangunan infrastruktur, hingga pendidikan. Menurut Nicky, militer sekarang masuk dalam tiga area sipil tersebut, dan program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih juga memperlihatkan peran militer dalam distribusi sumber daya dan pelaksanaan kegiatan pembangunan.
CSIS juga mengkritisi munculnya pola kebijakan yang disebut sebagai "normalisasi kedaruratan" ini. Menurut Nicky, pemerintah menggunakan dalih efisiensi dan stabilitas untuk membenarkan sentralisasi kekuasaan dan percepatan legislasi tanpa partisipasi publik.
Pola ini berisiko menggeser praktik demokrasi Indonesia dari demokrasi deliberatif ke demokrasi prosedural yang dangkal. Partisipasi publik dikorbankan demi kecepatan kebijakan, dan batas antara sipil dan militer kabur. Logika publik digantikan oleh logika keamanan dan hierarki komando.
CSIS memperingatkan bahwa kombinasi antara normalisasi kedaruratan dan militerisasi sipil berpotensi menciptakan rezim yang otoriter secara struktural. Ketika militerisasi ruang sipil dilegalkan, batas antara sipil dan militer kabur, logika publik digantikan oleh logika keamanan dan hierarki komando, dan normalisasi kedaruratan ini bisa menciptakan otoritarianisme baru negara yang merasa sah membatasi kebebasan atas nama stabilitas.
Ekspansi ini meliputi pembangunan struktur militer yang lebih luas, seperti penambahan perwira tinggi dari 371 menjadi 420 orang. Selain itu, pemerintah juga membentuk enam grup Kopassus baru yang tersebar di Banten, Surakarta, Riau, IKN, Kendari, dan Timika (Papua Tengah).
Fenomena ini menandai semakin kuatnya keterlibatan militer dalam ranah sipil, mulai dari ketahanan pangan, pembangunan infrastruktur, hingga pendidikan. Menurut Nicky, militer sekarang masuk dalam tiga area sipil tersebut, dan program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih juga memperlihatkan peran militer dalam distribusi sumber daya dan pelaksanaan kegiatan pembangunan.
CSIS juga mengkritisi munculnya pola kebijakan yang disebut sebagai "normalisasi kedaruratan" ini. Menurut Nicky, pemerintah menggunakan dalih efisiensi dan stabilitas untuk membenarkan sentralisasi kekuasaan dan percepatan legislasi tanpa partisipasi publik.
Pola ini berisiko menggeser praktik demokrasi Indonesia dari demokrasi deliberatif ke demokrasi prosedural yang dangkal. Partisipasi publik dikorbankan demi kecepatan kebijakan, dan batas antara sipil dan militer kabur. Logika publik digantikan oleh logika keamanan dan hierarki komando.
CSIS memperingatkan bahwa kombinasi antara normalisasi kedaruratan dan militerisasi sipil berpotensi menciptakan rezim yang otoriter secara struktural. Ketika militerisasi ruang sipil dilegalkan, batas antara sipil dan militer kabur, logika publik digantikan oleh logika keamanan dan hierarki komando, dan normalisasi kedaruratan ini bisa menciptakan otoritarianisme baru negara yang merasa sah membatasi kebebasan atas nama stabilitas.