Komite Eksekutif Percepatan Pembangunan Otonomi Khusus Papua (BPK3) yang didirikan oleh pemerintah dengan tujuan mengelola agenda pembangunan di Papua. Komite ini diketuai oleh Velix Wanggai dan dilantik Presiden RI Prabowo Subianto pada Rabu kemarin.
Dalam wawancara, Mennesneg Prasetyo Hadi menyatakan bahwa komite ini dibentuk untuk membantu kerja BKP3 yang diketuai Wapres Gibran Rakabuming Raka. Namun, peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN Cahyo Pamungkas berpendapat bahwa komite eksekutif ini berpotensi tumpang tindih dengan BKP3.
Cahyo menyatakan bahwa komposisi anggota komite eksekutif yang terdiri dari purnawirawan TNI/Polri, politisi, dan birokrat dapat menimbulkan kekhawatiran tentang pendekatan konservatif dalam menangani persoalan di Papua. Ia juga menyoroti bahwa ada potensi dualisme kelembagaan antara BKP3 dengan komite eksekutif.
Cahyo berpendapat bahwa UU Otsus Papua memerlukan penafsiran yang lebih luas untuk mendukung pelaksanaan tugas badan khusus. Ia juga menyinggung "celah" pasal di UU Otsus yang dapat dijadikan landasan komite eksekutif ini berdiri.
Selain itu, Cahyo juga menyarankan agar komite eksekutif ini diisi oleh birokrat yang non partisan dan mengedepankan pendekatan dialogis dalam menangani masalah konflik Papua. Ia menyatakan bahwa pendekatan militeristik hanya akan menghasilkan dendam sejarah yang berkepanjangan.
Terakhir, Cahyo mencontohkan misalnya dalam kebijakan proyek strategis nasional yang memangkas hutan adat masyarakat Papua, hal itu justru kontradiktif dengan yang dicita-citakan lewat Otsus sendiri. Ia pun menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi secara kritis dan terukur untuk mengatasi masalah tersebut.
Dalam wawancara, Mennesneg Prasetyo Hadi menyatakan bahwa komite ini dibentuk untuk membantu kerja BKP3 yang diketuai Wapres Gibran Rakabuming Raka. Namun, peneliti Pusat Riset Kewilayahan BRIN Cahyo Pamungkas berpendapat bahwa komite eksekutif ini berpotensi tumpang tindih dengan BKP3.
Cahyo menyatakan bahwa komposisi anggota komite eksekutif yang terdiri dari purnawirawan TNI/Polri, politisi, dan birokrat dapat menimbulkan kekhawatiran tentang pendekatan konservatif dalam menangani persoalan di Papua. Ia juga menyoroti bahwa ada potensi dualisme kelembagaan antara BKP3 dengan komite eksekutif.
Cahyo berpendapat bahwa UU Otsus Papua memerlukan penafsiran yang lebih luas untuk mendukung pelaksanaan tugas badan khusus. Ia juga menyinggung "celah" pasal di UU Otsus yang dapat dijadikan landasan komite eksekutif ini berdiri.
Selain itu, Cahyo juga menyarankan agar komite eksekutif ini diisi oleh birokrat yang non partisan dan mengedepankan pendekatan dialogis dalam menangani masalah konflik Papua. Ia menyatakan bahwa pendekatan militeristik hanya akan menghasilkan dendam sejarah yang berkepanjangan.
Terakhir, Cahyo mencontohkan misalnya dalam kebijakan proyek strategis nasional yang memangkas hutan adat masyarakat Papua, hal itu justru kontradiktif dengan yang dicita-citakan lewat Otsus sendiri. Ia pun menyarankan agar pemerintah melakukan evaluasi secara kritis dan terukur untuk mengatasi masalah tersebut.