"Penyerapan Anggaran Daerah Lameteng, Pertumbuhan Tersendat"
Dalam rangka pengelolaan anggaran belanja daerah, pemerintah pusat telah menetapkan sorotan dan peringatan kepada provinsi-provinsi yang mengendapkan dana belanja di bank. Menurut data Kementerian Keuangan (Menkeu), dana Transaksi Keuangan Daerah (TKD) pada APBN 2025 mencapai Rp848,52 triliun, namun hingga akhir September 2025, masih tersisa Rp234 triliun yang diparkirkan di bank. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya.
Provinsi DKI Jakarta menjadi puncak perendaman dana daerah dengan nilai mencapai Rp14,68 triliun, diikuti oleh Jawa Timur (Rp6,84 triliun) dan Kota Banjarbaru (Rp5,17 triliun). Oleh karenanya, para eksekutif di daerah harus meningkatkan produktivitas anggaran agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang tersendat.
Meningkatnya penyerapan anggaran belanja daerah ini menunjukkan bahwa kecepatan eksekusi belanja daerah sangat rendah. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus bertindak lebih tegas untuk memotong anggaran transfer ke daerah (TKD) 2026 bagi provinsi-provinsi yang mengendapkan dana belanja di bank.
Pengendapan dana anggaran yang terlalu lama juga merupakan masalah krusial. Hal ini tidak hanya memperlambat laju pertumbuhan ekonomi daerah, tetapi juga menimbulkan dampak bagi layanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, penyusunan APBD harus mencerminkan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan keunggulan, karakteristik, keunikan, dan potensi yang dimiliki setiap daerah.
Kemudian, pengelolaan anggaran tidak efisien dan efektif juga menjadi masalah besar. Dalam konteks penganggaran, efisiensi dan efektivitas itu berkaitan dengan penghematan dana (input) yang dikeluarkan oleh pemda, sehingga bisa menghasilkan Output (PDB) yang tinggi.
Penyebab penyerapan anggaran belanja daerah ini justru terkait dengan kurangnya kreativitas dan inovasi pemda. Para eksekutif di daerah harus lebih kreatif dalam penyusunan APBD maupun pengeksekusi anggaran, serta meningkatkan daya serap anggarannya agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang tersendat.
Namun, perlu diingat bahwa penyerapan anggaran belanja daerah ini juga terkait dengan kurangnya supervisi kepala daerah dalam mengawal pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, pemda harus meningkatkan keterampilan dan kompetensi untuk mengelola dana belanja secara efektif dan efisien.
Terakhir, penyerapan anggaran belanja daerah ini juga menjadi masalah terkait dengan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Oleh karena itu, pemda harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana belanja agar dapat meningkatkan kepercayaan publik dan kualitas layanan publik di daerah.
Dalam rangka pengelolaan anggaran belanja daerah, pemerintah pusat telah menetapkan sorotan dan peringatan kepada provinsi-provinsi yang mengendapkan dana belanja di bank. Menurut data Kementerian Keuangan (Menkeu), dana Transaksi Keuangan Daerah (TKD) pada APBN 2025 mencapai Rp848,52 triliun, namun hingga akhir September 2025, masih tersisa Rp234 triliun yang diparkirkan di bank. Angka ini jauh lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya.
Provinsi DKI Jakarta menjadi puncak perendaman dana daerah dengan nilai mencapai Rp14,68 triliun, diikuti oleh Jawa Timur (Rp6,84 triliun) dan Kota Banjarbaru (Rp5,17 triliun). Oleh karenanya, para eksekutif di daerah harus meningkatkan produktivitas anggaran agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang tersendat.
Meningkatnya penyerapan anggaran belanja daerah ini menunjukkan bahwa kecepatan eksekusi belanja daerah sangat rendah. Oleh karena itu, pemerintah pusat harus bertindak lebih tegas untuk memotong anggaran transfer ke daerah (TKD) 2026 bagi provinsi-provinsi yang mengendapkan dana belanja di bank.
Pengendapan dana anggaran yang terlalu lama juga merupakan masalah krusial. Hal ini tidak hanya memperlambat laju pertumbuhan ekonomi daerah, tetapi juga menimbulkan dampak bagi layanan publik dan kesejahteraan masyarakat di daerah. Oleh karena itu, penyusunan APBD harus mencerminkan kebutuhan riil masyarakat dan disesuaikan dengan keunggulan, karakteristik, keunikan, dan potensi yang dimiliki setiap daerah.
Kemudian, pengelolaan anggaran tidak efisien dan efektif juga menjadi masalah besar. Dalam konteks penganggaran, efisiensi dan efektivitas itu berkaitan dengan penghematan dana (input) yang dikeluarkan oleh pemda, sehingga bisa menghasilkan Output (PDB) yang tinggi.
Penyebab penyerapan anggaran belanja daerah ini justru terkait dengan kurangnya kreativitas dan inovasi pemda. Para eksekutif di daerah harus lebih kreatif dalam penyusunan APBD maupun pengeksekusi anggaran, serta meningkatkan daya serap anggarannya agar dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi daerah yang tersendat.
Namun, perlu diingat bahwa penyerapan anggaran belanja daerah ini juga terkait dengan kurangnya supervisi kepala daerah dalam mengawal pelaksanaan anggaran. Oleh karena itu, pemda harus meningkatkan keterampilan dan kompetensi untuk mengelola dana belanja secara efektif dan efisien.
Terakhir, penyerapan anggaran belanja daerah ini juga menjadi masalah terkait dengan kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana. Oleh karena itu, pemda harus meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana belanja agar dapat meningkatkan kepercayaan publik dan kualitas layanan publik di daerah.