Periode Demokrasi Terpimpin dalam sejarah Indonesia ditandai dengan peningkatan kekuasaan Presiden, pemerintahan monarki, pengangkatan kabinet yang dipimpin oleh pemimpin PKI, serta kecenderungan sentralisasi dan menurunnya otonomi daerah. Sebagai hasil dari kondisi tersebut, terjadi peristiwa G30SPKI yang berujung pada peristiwa Tragedi Cikini.
Pada masa Demokrasi Parlementer (1948-1959), Indonesia mengalami proses kemerdekaan penuh dengan demokrasi. Pada saat ini, presiden Indonesia bertanggung jawab langsung kepada parlemen dan dewan perwakilan rakyat. Dalam masa Demokrasi Parlementer, muncul pula partai-partai politik yang berbeda, salah satunya adalah Partai Nasionalis (PN).
Sekitar 5 minggu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda menuduh bahwa mereka tidak memiliki hak atas wilayah Irian Barat dan mengajukan klaim perjanjian Renville untuk memenjarah daerah tersebut. Pada akhirnya, kekuasaan atas wilayah itu dibebaskan dari tangan Belanda dengan bantuan antarnegara.
Selama masa Demokrasi Parlementer, Indonesia juga memiliki kabinet yang dipimpin oleh Menteri Besar dan terdiri dari pemanggil pemerintahan. Kabinet ini bertugas dalam pembuatan kebijakan dasar dan tidak mempunyai kekuasaan eksekutif.
Selain itu, di masa Demokrasi Parlementer, Indonesia juga melakukan peristiwa politik yang sangat menentukan yaitu pernyataan politik yang ditujukan kepada bangsa-bangsa dunia tentang menerima jalan bagi kubu yang telah tertindas di seluruh dunia. Pernyataan ini dibuat oleh Presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Di masa Demokrasi Parlementer juga mengalami peristiwa pembubaran Konstituante pada tahun 1956. Peristiwa ini adalah bagian dari upaya untuk mengurangi kekuasaan parlemen dan memperoleh pemimpin yang lebih kuat dengan kekuasaan eksekutif.
Terhadap kondisi politik Indonesia, Presiden pertama Indonesia, Sukarno menegosiasikan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963, yaitu Perjanjian Laut, Perjanjian Daratan, dan Perjanjian Antarnegara yang berlaku sampai hari ini.
Pada masa Demokrasi Parlementer (1948-1959), Indonesia mengalami proses kemerdekaan penuh dengan demokrasi. Pada saat ini, presiden Indonesia bertanggung jawab langsung kepada parlemen dan dewan perwakilan rakyat. Dalam masa Demokrasi Parlementer, muncul pula partai-partai politik yang berbeda, salah satunya adalah Partai Nasionalis (PN).
Sekitar 5 minggu setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, Belanda menuduh bahwa mereka tidak memiliki hak atas wilayah Irian Barat dan mengajukan klaim perjanjian Renville untuk memenjarah daerah tersebut. Pada akhirnya, kekuasaan atas wilayah itu dibebaskan dari tangan Belanda dengan bantuan antarnegara.
Selama masa Demokrasi Parlementer, Indonesia juga memiliki kabinet yang dipimpin oleh Menteri Besar dan terdiri dari pemanggil pemerintahan. Kabinet ini bertugas dalam pembuatan kebijakan dasar dan tidak mempunyai kekuasaan eksekutif.
Selain itu, di masa Demokrasi Parlementer, Indonesia juga melakukan peristiwa politik yang sangat menentukan yaitu pernyataan politik yang ditujukan kepada bangsa-bangsa dunia tentang menerima jalan bagi kubu yang telah tertindas di seluruh dunia. Pernyataan ini dibuat oleh Presiden pertama Indonesia, Sukarno.
Di masa Demokrasi Parlementer juga mengalami peristiwa pembubaran Konstituante pada tahun 1956. Peristiwa ini adalah bagian dari upaya untuk mengurangi kekuasaan parlemen dan memperoleh pemimpin yang lebih kuat dengan kekuasaan eksekutif.
Terhadap kondisi politik Indonesia, Presiden pertama Indonesia, Sukarno menegosiasikan perjanjian antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1963, yaitu Perjanjian Laut, Perjanjian Daratan, dan Perjanjian Antarnegara yang berlaku sampai hari ini.